Sebelum mulai mendaki kami lapor dulu ke pos penjagaan depan dengan memperlihatkan identitas pribadi kami.
Ada sekitar 10 pos pendakian di Gunung Papandayan . Papandayan termasuk trek gunung yang cocok bagi pemula sepertiku. Sebutlah pemula karena aku jarang mendaki dengan pendakian yang tidak terlalu tinggi. Namun harus tetap waspada karena trek ini banyak bebatuan besar, bebatuan kecil dan licin.
Kami mulai berjalan dengan santai saat a Adi sudah melapor kepada penjaga pos satu.
Karena di kagetkan dengan suara babi hutan yang biasa di sebut 'omen' oleh para pendaki gunung. Aku terpeleset dan meluncur kembali ke bawah, sepertinya aku salah mengambil pijakan karena terlalu panik.
"Win, Windi!” teriakku, meminta tolong kepada Windi yang berada tepat di depanku.
"Put, Astagfirullah!” suara teriakan Windi yang berada tak jauh dari tempatku terjatuh, membuat semua teman-teman menengok ke belakang.
Segera salah satu teman kami yang berada paling belakang menolongku, tapi tiba-tiba seorang laki-laki dari arah atas dengan tergesanya menghampiriku, menarik lenganku dan mengangkat tubuhku yang hampir terperosok ke jurang.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya A Robby, dia berhasil menolongku dengan secepat kilat. Sungguh jika rangernya tidak dapat di ragukan lagi.
Ya, a Robby memang sudah jalan paling depan sedari tadi. Tapi kenapa tiba-tiba dia datang saat mendengar aku terjatuh. Terlihat sekali ke khawatiran di wajahnya.
Kami pun istirahat sejenak untuk menetralkan kondisiku yang masih sangat kaget. Windi mengobati kakiku yang sedikit lecet, dengan p3k yang sengaja kami bawa untuk jaga-jaga.
Malu rasanya, karena hanya bisa merepotkan teman-temanku ini. Tapi mau bagaimana lagi.
Setelah kondisiku membaik, barulah kami melanjutkan perjalanan. A Robby menawarkan diri untuk membawa tasku, katanya tas dia terlalu ringan, jadilah dia butuh tambahan tas agar lebih menantang mendakinya.
Ah, aku tahu itu cuman akal-akalan dia saja. terlihat pipinya memerah dan tampak garis melengkung di bibirnya saat dia mengambil alih tasku.
Itu membuat aku berdebar-debar, oh... Tuhan.
***
Cukup lama kami sampai, sekitar pukul 4 sore, karena semua mengimbangi langkahku yang lambat akibat sedikit sakit di pergelangan kaki.
Akhirnya kami tiba di pos terakhir yaitu Pondok Saladah,
Kami pun segera membuat tenda, setelah menemukan lokasi yang cocok dan nyaman, dua tenda kami bawa untuk masing-masing. Laki-laki dan perempuan tidak di campur dalam satu tenda, bukan mukhrim.
Makin malam, cuaca makin dingin, perut yang sebelumnya sudah di isi dengan nasi Padang, kembali kroncongan, teman-teman berinisiatif membuat api unggun, memasak makanan yang kami bawa dari rumah.
Dan malam ini kami isi sedikit dengan sholawatan bareng-bareng. Untuk menunjukan rasa Syukur kami bisa sampai kesini dengan selamat.
Langit yang cerah meskipun malam semakin larut membuat kami begitu menikmati malam di pondok Saladah. Bintang terlihat jelas dan indah, angin bertiup cukup kencang, untung saja aku bawa jaket tebal, tapi tetap saja dingin haha.
***
Keesokan hari, kami kembali melanjutkan perjalanan untuk ke Hutan Mati. Perjalanan dari Pondok Saladah menuju Hutan Mati sekitar 10 menit. Di sepanjang jalur tersebut banyak terdapat Bunga Edelweis. Tentunya tidak diperbolehkan untuk dipetik.
Selama perjalanan, kami melewati sekumpulan para pendaki lain yang sedang beristirahat menikmati angin sambil rebahan.
"Yang kerudung item cantik.” Teriak salah satu di antara mereka.
Sontak aku merasa malu karena cuman aku yang memakai kerudung hitam.
"Punya gue bro!” terdengar jawaban seseorang yang aku kenal suaranya.
A Robby? masa sih?
Aku dan teman-teman yang lain pun langsung berbalik menengok ke arah a Robby. Ternyata bukan aku saja yang sangat jelas mendengar kata-kata dia.
Tapi yang kami tengok malah dengan dinginnya bertanya "kalian kenapa? gue emang ganteng, gua tahu.” Lalu berjalan mendahului kami.
"Ah, WTF!” teriak a Adi.
"haha.” Sahutnya tertawa lepas.
Setelah puas berfoto ria di hutan mati, kami kembali ke tenda dan memutuskan untuk turun dan pulang.
Segera kami bereskan barang masing-masing,
"Mau aku bawa lagi tasnya ?" tanya A Robby sambil mengambil tasku.
"E-engga a, nuhun.” Jawabku tersipu malu.
"Emang kakinya udah sembuh?" dia menatapku yang sudah menunduk seperti daun putri malu.
Sebenarnya masih agak sakit sih, tapi tak mungkin aku merepotkan dia terus. Sungkan rasanya dan malu setelah mendengar perkataannya di hutan mati tadi.
Selama turun, a Robby tidak pernah lepas dari sampingku. Meskipun kami tidak saling mengobrol tapi tanpa aku sadari dia selalu memperhatikan, menjagaku agar tetap aman.
Ya ampun, justru hal seperti itu membuatku tidak leluasa dan merasa canggung.