Blurb
Di daerah pesisir pantai utara, sepasang keluarga sederhana; Japran dan Salimah kerap dihajar kegelisahan, kecemasan karena musim di lautan kerap mengirimkan petanda-petanda kesedihan dan atau kematian. Japran lulusan pondok pesantren memutuskan menjadi nelayan lantaran menuruti wasiat kakeknya. Suatu kali, Japran melihat dengan mata kepalanya sendiri persekongkolan orang-orang politik dengan kepala desa untuk meluruskan niat pengerukan tanah, reklamasi, dan pendirian pabrik. Seluruh kiai menolak keras, sebab jika sampai semua itu disetujui, maka akan banyak orang-orang pendatang, baik lokal maupun asing tinggal di area kampung itu. Tentu pendirian tempat-tempat hiburan malam akan semakin merajalela penuh dengan kemaksiatan. Tak lama setelah kiai paling tua menolak, kemudian pemerintah menghentikan seluruh aktivitas organisasi masyarakat, ada sosok lelaki memakai baju serba hitam dengan wajah tertutup--ninja berkeliaran, berloncatan di kampung-kampung. Hingga di akhir bulan Februari peristiwa pembunuhan kiai, semakin menjadi-jadi. Japran melihat ninja berbicara dengan antek sebuah partai politik. Mereka melihat Japran, dan yakin bahwa Japran mengetahui apa yang dibicarakan. Dari peristiwa itulah, mereka cuci tangan. Japran dituduh sebagai dalang tragedi pembunuhan kiai-kiai di kampungnya. Japran mengelak, namun ia tidak memiliki pembela. Seluruh warga tidak dapat berbuat apa pun selain percaya dengan penguasa yang kerap menjejali kebutuhan hidup sehari-hari. Pada akhirnya, akhir Februari 1998 Japran diculik, disiksa, dan dipaksa mengakui bahwa apa yang dilihatnya tidaklah benar, kemudian menyampaikan berita ke seluruh warga di perkampungan bahwa dirinya hanya membual atau menyebar berita bohongan. Istrinya menangisi kondisi Japran yang wajah dan mentalnya nyaris tidak dikenalinya sendiri. Nahasnya justru Japran yang dihabisi warga lantaran dianggap bahwa Japranlah sosok ninja yang diburu selama ini. Japran dibakar hidup-hidup oleh seluruh warga di depan mata Salimah yang masih menggendong anaknya.