~ Bandung 30 Oktober 2009 ~
Sudah lebih dari seminggu berlalu semenjak wawancara di perusahaan kontraktor. Ketika aku hendak keluar kamar, handphoneku berdering. Ternyata dari PT Taruna Karya, perusahaan kontraktor itu. Aku terperanjat sekaligus berdebar. Segera kuangkat handphoneku dan ternyata aku diterima kerja di perusahaan itu. Hatiku berdegup cukup kencang, meletup-letup, membuatku ingin melompat-lompat. Rasanya sesaat lagi perjuangan orang tuaku membiayai kuliahku terbayarkan. Segera saja kutelepon orang tuaku. Mereka senang sekali mendengar kabar ini. Jika saja aku bisa melihat wajah mereka, pasti aku akan terbayang taman-taman yang indah dari senyum mereka yang merekah seperti bunga-bunga yang bermekaran.
***
~ Bandung 2 November 2009 ~
Ini hari pertama aku bekerja. Jam 8 pagi aku duduk di depan receptionist, menunggu pak Hendi yang kemudian datang dan mengantarkanku ke ruangan tempatku bekerja.
Aku masuk ke sebuah ruang berdinding putih di lantai 2. Di ruangan ini tak kutemukan jendela. Tak ada canda tawa sedikit pun di ruangan ini, tak ada seutas senyum sama sekali. Kulihat semua orang di ruangan ini serius dengan pekerjaannya masing-masing. Ruangan ini begitu terasa pengap karena tanpa jendela, ditambah lagi dengan suasana seperti itu.
Aku duduk di meja kerjaku yang berada di sudut ruangan ini. Manajer menghampiriku. Namanya Pak Sarto, pria Jawa 35 tahunan yang datang dengan dahi berkerut, tanpa seutas senyum sedikit pun. Aku diberikan sebuah dokumen tentang alur pekerjaan di kantor ini untuk dipelajari. Kupelajari dokumen ini lembar demi lembar. Sesekali kulihat jam tangan yang seolah lambat sekali berputar. Terkadang rasa kantuk akibat kebosanan ini menghampiriku, membuat kelopak mataku seolah begitu berat, membuat kepalaku selalu ingin menunduk. Terlebih meja kerjaku ada di paling pojok. Dinding putih tanpa jendela di hadapanku membatasi pandanganku. Tapi selalu kucoba untuk terus mempelajari dokumen ini, hingga akhirnya jam lima sore pun tiba, waktunya pulang. Pak Sarto, manajerku, memberitahukanku kalau besok aku mulai diberi pekerjaan. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
***
Keesokan harinya, tak seperti hari kemarin. Pa Sarto tak ada di tempatnya. Beberapa karyawan mengobrol dengan santainya. Kali ini beberapa orang mulai menyapaku dan kami pun mulai berkenalan. Di divisi estimasi ada Pak Ruben yang bertubuh pendek dan agak gemuk. Pak Ruben kabarnya yang paling sering kena semprot Pak Sarto. Ada juga Pak Johar yang bertubuh tinggi besar dan berkacamata. Juga ada Pa Tisna yang berkacamata dan pendiam. Selain itu ada juga Bu Ani yang berjilbab, juga Reva, admin di divisi kami, serta Reza yang duduk di sebelahku, yang juga pegawai baru di sini. Kami berkumpul dan mulai berbincang. Canda tawa pun mulai terurai, mulai mencair. Kami saling berbincang di sela-sela pekerjaan. Tapi suasana itu langsung berubah ketika suara batuk berdehem seperti gemuruh petir terdengar dari belakang. Kami langsung bubar dan bergegas duduk di depan monitor masing-masing.
Rupanya suara batuk Pak Sarto yang baru datang. Ia terkenal sangat disegani dan ditakuti di kantor ini. Jika dia ada, suasana kantor seperti ruang sidang yang menegangkan dan jika dia tak ada, suasana sontak berubah 180 derajat menjadi seperti taman bermain yang menyenangkan.