MENCAPAI PIAGAM

noviadewi
Chapter #2

MENJALANI MERANA

Saat itu masa-masa sulit di tahun 2001, dimana Novia daftar sekolah disebuah sekolah yang bernama SD 1 Mundeh Kangin, sejumblah orang tua beserta anaknya telah ada disekolah melakukan administrasi pendaftaran. Novia memandang teman sebayanya semua telah memakai pakaian putih merah sedangkan dirinya hanya memakai dres usang, Novia terpaku.

Novia mengeluh dalam hati. “Mereka enak sudah di belikan seragam, sedangkan aku … Pakai pakaian seperti ini,”

Muka Novia ditekuk, mengeluh dalam batin. “Ini nasib anak buruh, selalu tertinggal, semua pakai uang,“

Novia menghela nafas, menetralkan perasaan lewat pemikiran. “Tapi tidak apalah tidak pakai seragam, lagi pula yang penting belajar dan nanti tamat sekolah punya ijasah,“

 Lalu ada yang mendekat , menepuk bahu Novia, itu membuat kaget, sehentak berbalik, seorang siswa kelas empat, berseragam putih merah, sesaat dipandang.

Novi setengah jengkel. “Dek Wah … Buat kaget saja,”

 Dek Wah sesaat nyengir. “Cie…. Jadi niat nih sekolah...?!”

Novia dengan nada percaya diri. “Ya … Jadilah, aku mau ketemu yang namanya bu Landri, guru paling galak di sekolah ini,”

Tidak jauh dari tempat mereka, melangkah seorang guru beseragam, berkaca mata, rabut disanggul dengan beberapa uban yang terlihat diatas dahi, Dek Wah memandang arah guru itu, karena penasaran Novia menoleh kearah yang sama. Langkah kaki jelas terdengar oleh hak sepatu wanita, Novia mencolek-colek lengan Dek Wah sambil bertanya.

 Novia setengah berbisik. “Dek Wah … Siapa guru itu?”

Dek Wah lalu menoleh Novia. “Dia bu Landri yang kamu cari,”

Landri berhenti, memandang seluruh area halaman sekolah, raut mukanya datar dengan tatapan tajam, Novia menoleh Dek Wah.

Novia hawatir. “Kayaknya guru itu galak, apa aku akan dimarahi nanti?!”

Dek Wah tolah toleh area sekitar. “Tidak lah Novia … Selama kamu taat peraturan, aman lah ...”

Lalu seorang guru wanita berambut keriting pendek, keluar kantor memandang murid-murid yang tengah asik bermain, Dek Wah lalu merangkul Novia, Novia setengah bingung.

Novia agak bingung. “Ada apa Dek ?!”

Dek Wah mengarahkan Novia. “Coba kamu lihat kedepan kantor,"

Novia memandang arah yang dimaksud. “ Ya ... Sudah ...”

Dek Wah setengah berbisik. “Kamu jangan sampai punya masalah dengan guru yang satu itu …”

Novia agak heran. ” Memang kenapa?!”

Dek Wah menghela nafas. “Dia akan balas dendam dan membuatmu menderita disekolah ini, terlebih kalau sampai dia jadi wali kelas, baik sekalipun kamu … Tetap saja kamu itu buruk,”

Novia penasaran.“Siapa dia?”

Dek Wah berpesan. “Dia bu Sri Murni, ingat ini Novia, jangan buat masalah dengan dia,”

Novia hanya mengangguk, rangkulan dilepaskan, lalu menoleh sekitar. Seorang siswa bebadan gemuk tinggi lewat dengan berjalan cepat, Novia dan Dek Wah memandang siswa itu, Dek Wah merangkul kembali Novia dan berkata.

Dek Wah memperingatkan. “Itu anaknya buk Sri Murni, dia pereman sekolah ini, berhati-hatilah dia memang suka cari gara-gara, ingat kalau lihat dia kamu pergi yang jauh atau sembunyi,”

Novia penasaran. “Ya … Tapi siapa namanya?”

Setengah berbisik. ”Dia namanya Depa, dipangil Aan,”

 Novia mengangguk, rangkulan dilepaskan perlahan Dek Wah pergi.

Waktu berlalu Novia telah punya seragam putih merah dan pramuka, kegiatan belajar dimulai murid dikelas satu sudah diperkenalkan bahasa, matematika dan menyanyi. Ketika pembagian buku Novia tidak dapat karena belum bayar, sampai dirumah Novia tidak mengatakan apa pun pada orang tuanya karena takut diomeli ibu atau dimaki oleh bapaknya. Karena itu Novia selalu dapat nilai 0 dan sering dihukum berdiri didepan kelas karena tidak membuat tugas, lama kelamaan itu diketahui oleh bapaknya, Budiasa marah besar. Dengan tatapan tajam, buku tulis yang dipegang dibanting dihadapan Novia, sehentak Novia kaget sekaligus takut.

Budiasa geram. “Kamu ini memang bodoh, soal gampang begitu tidak bisa jawab!”

 Sambil tersedu-sedu Novia berkata. “Aaku … Aku belum ... Belum punya … Buku … Kayak teman sekelas …”

Budiasa membentak Novia, mencengkram buku tulis itu. “Buku katamu…! Ini sudah buku …!”

Novia terperangah, tangis tersedu tanpa air mata. “Tapi…. Itu bukan buku… Paket pelajaran …”

Budiasa menatap tajam, nada membentak. “Oh … Jadi aku harus belikan kamu buku yang kamu mau … Yang sekolah kan kamu … Kamu yang beli!”

Novia coba membela diri. “Tapi … Orang tua yang lain … Mau bayari anaknya kenapa aku tidak …?!”

Budiasa geram. “Makanya dikasi bekal uang disisain buat beli buku, ini dihabisin semua!”

Budiasa naik pitam, tempat duduk Novia ditedang hingga tubuhnya terpental, gong-gongan anjing memecah suasana, Budiasa beranjak dari sana. Novia benar- bear kesal, “ Memang benar… aku bukan anak kalian, kalau seperti ini perlakuan kalian padaku, jangan salahkan kalau aku jaga jarak dengan kalian,“ Ucap Novia dalam hati. Hari berganti, esok paginya Dek Wah sudah menanti Novia dipertigaan jalan, keadaan masih agak remang-remang.

Novia pura-pura dalam keadaan baik, tersenyum. “Dek Wah … Nunggu siapa?!"

Dek Wah melipat tangan didada memperhatikan Novia seksama, Novia heran melihat tingkah Dek Wah, derap langkah kaki memecah suasana, seorang siswa mendekat, matahari telah memperjelas sinarnya, kini semua sudah tanpak jelas. Siswa itu mendekati Dek Wah, mereka memakai seragam pramuka laki-laki sedangkan Novia seragam pramuka perempuan, Dek Wah mengelilingi Novia.

Siswa itu bertanya. “Dek … Kenapa kamu ngeliatin dia sampai segitunya...?!”

Dek Wah menghentikan langkah, menoleh siswa itu. “Kemarin aku lihat dia dibentak-bentak sama bapaknya … Supardi,”

 Novia sehentak kaget dan terperngah.

Supardi jadi penasaran. “Memang dia buat salah apa?”

Dek Wah menoleh Supardi. “Entah lah ... Selama ini dia tidak pernah mencari masalah,”

Dek Wah lalu menatap tajam Novia. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu sampai dibentak begitu, apa kamu malas belajar?”

Novia tertunduk kesal menahan rasa sedih.

Supardi menghela nafas bernada tegas. ”Kau ini…! Kok gitu nanyanya…! Malah dia makin takut!”

Dek Wah setengah heran menatap Supadi. “Trus…?!”

Supardi bertanya dengan nada lembut. “ Novia … Kalau boleh tahu, kenapa kemarin kamu sampai di gituin sama bapak kamu?”

Novia menoleh sesaat lalu tertunduk, dengan nada sedih. “Aku … Tidak ngerti… Nilaiku selalu nol dan aku sering dihukum karena aku tidak buat tugas, bapak tahu … Dia marah-marah, aku dibentak-bentak, dia malah nyuruh aku beli buku paket sendiri…”

Air mata yang menetes dihapus dengan telapak tangannya sendiri. “Buku paket itu kan mahal, mana cukup uangnya ... Aku cuma dikasih uang lima puluh rupiah … Buku itu lima ribu, aku juga tidak pernah sarapan, jalan kakinya jauh beli roti sebungkus, lima puluh rupiah itu sudah habis….”,

Mereka menatap Novia sesaat, kemudian menatap satu sama lain, Novia memandang mereka, keduanya memunggungi Novia bicara berbisik-bisik, setelah itu mereka menatapnya.

Dek Wah memandang Novia. “Sudahlah Novia… Bapak kamu tidak usah kamu pikirin…!”

Lihat selengkapnya