Dalam beberapa minggu ini Moyo anjing belang itu tidak kelihatan, Novia merasa kesepian terlebih tidak sekali pun Moyo menampakkan diri sebulan lebih, pikiran buruk muncul. Firasatnya mengatakan kalao Moyo sudah mati, untuk memastikaanya Novia memberanikan diri, rasa deg-degan ketika mendekati ibunya Waniti yang masih menjemur pakaian digalah bambu.
Novia mnegur lembut. “Bu …”
Waniti menoleh, raut muka datar. “Ada apa?”
Novia setengh taku bertanya. “Moyo kemana ya, kok sudah lama tidak kelihatan?!”
Waniti berpaling muka, lanjut menjemur.“Dia kan anjingnya nenek, pasti dia dirumah nenek sekarang,“
Novia berpikir sejenak. “Bu … Apa boleh aku kerumah nenek?”
Waniti bernada tegas memberi izin. “Boleh, tapi hanya tiga jam, jam satu kau harus sudah disini!“
Segera Novia melangkah, saat dipertigaan jalan setapak Novia berhenti, menoleh kearah kanan.
Dalam batin Novia terlintas. “Kalau aku lewat jalan ini, aku pati diusili mereka,“
Jalan kiri ditoleh.
Novia mengeluh dalam batin. “Kalau lewat sini, bakalan lewat kebun orang … Mana jalurnya terjal lagi,“
Menarik nafas panjang dan melepaskannya, memutuskan dalam batin.“Baiklah … Aku harus lewat kiri setelah itu lurus nerobos kebun orang,“
Kaki melangkah cepat jalur kiri, lalu menerobos kebun orang, medan sedikit menurun, pembatas kebun dari pohoh salak di lewati perlahan. Lewat celah lebar yang ada secara hati-hati, kebun disebelahnya dilewati, pembatas kebun ada sungai kecil yang mengering.
Dengan memijak batu besar Novia melewati sungai kecil itu, kini telah sampai dikebun seberang, medan menanjak dilewati, lalu menurun tajam, perlahan Novia menurun, setelah itu naik, kaki merasakan pegal namun belum mau berhenti.
Ketika hampir sampai puncak bukit ada celah pagar salak, kaki melangkah pelan melewati pelepah salak kering, setelah itu Novia sampai dikebun milik nenekya, Novia menghela nafas lega, tembok rumah telah kelihatan.
Teringat Moyo anjing belang itu, raut Novia sendu, dalam batin. “ Moyo … Kamu kenapa tidak ketempatku, apa kamu sudah mati atau sakit?!“
Langkah kaki dipercepat, Novia kini sudah masuk kehalaman rumah neneknya. Terlihat nenek Selig sedang menjemur daun nangka, saat bebalik dengan bantuan tongkat, ia terkejut melihat kehadiran Novia.
Seling menyapa ramah. “Ye … Luh … Kirain siapa …”
Lalu melangkah pincang dengan bantuan tongkat, diteras itu ada beberapa kursi, Selig duduk begitu juga Novia.
Selig bertanya dengan nada ramah. “Tumben kamu kesini sendiri Luh?”
Dengan santai Novia menjawab. “Aku sudah besar nek, jadi tidak usah diantar lagi,“
Selig memandang kasaihan. “Apa masih kamu diomelin ibu dan dikasari bapak?”
Setelah terdiam cukup lama, Selig tampak menunggu jawaban Novia, sambil menatap.
Novia memaparkan denga raut sendu. “Dipukulin bapak sih sudah tidak, kalau diomelin ibu sih sering, tuh si Ratih kecik-kecil sudah nakal suka mitnah lagi ! itu yang selalu dilakukan makanya aku selalu diomelin,“
Menangkap sesuatu, Selig coba menebak. “Pasti pekerjaan kamu dirusak atau diberantakin dan dibilang males beres-beres,“
Novia memasang raut cemberut. “Ya … kayak yang nenek bilang tadi ...“
Selig mencoba memberi saran. “Kamu harus cepat taruh ditempatnya, sampahnya kamu bakar jadi dia tidak bisa usilin kamu,“
Novia tersenyum menatap kerah Selig. “Ya … Akan aku coba beres-beres lebih cepat,”
Selig terseyum lebar menatap Novia. “Kamu harus sabar, kalau kamu lawan kamu itu akan disalahkan.“
Selig kini terpaku menatap lurus. “Yang nenek heran anak kecil yang belum sekolah sudah bisa seusil itu, pasti ada yang mengajarinya,”