MENCAPAI PIAGAM

noviadewi
Chapter #6

TIDAK ADA MAAF

Setela setaun berlalu, kecurigaan Novia semakin kuat, ada yang menebar fitnah, kebusuka bertahap mulai terbongkar, kutukan Novia benar-benar teralisasi. Setelah waktu bergulir, papak dari Cica, Warsadi dan Setiana datang, Novia cuek dan langsung masuk dan berganti seragam, Budiasa menanti didepan pintu, saat keluar, Novia nenoleh kesal kearah mereka. Novia memanggil bapak dengan sebutan Nanang, ini panggilan untuk orang tua laki-laki didaerah Gianyar, Bali.

Novia bernada ketus. “Nanang, ngapain mereka kesini?”

Buiasa beraut kesal, bernada biasa. “Mereka mau bicara dengan kamu.“

Membuang muka, Novia protes dalam hati. "Heh, orang tua musuhku diajak kesini, orang tua memang seenaknya!

Novia melangkah cepat kearah mereka, raut ketidak sukaan sangat jelas terlihat.

Semua memandang dari tempat duduk dikursi panjang.

Memandang satu persatu, Novia bernada ketus. “Untuk apa menemui orang jelek sepertiku?”

Budiasa menatap kesal Novia dari kejauhan, kata-kata itu terdengar tidak sopan.

Kadek Sudiana, bapaknya Warsadi bicara, beraut sedih. “Novia tolong cabut kutukanmu, anak dan istri bapak sudah terima akibatnya, bahkan mereka sakit bebulan-bulan tidak kunjung sembuh.“

Sunoto bapak dari Cica juga bicara. “Cica juga sudah dapat hukumannya, mulutnya sakit dan bernanah, sesuai kutukanmu, tapi sampai kapan Novia?!”

Bapak dari Setiana ikut bicara, tampang memelas. “Apa tidak ada maaf untuk anak-anak kami Novia, kami tahu anak kami memang bersalah, tapi sampai kapan kamu membenci mereka, tolong maafkan mereka.“

Sehentak tertawa, setelah beberapa lama berhenti, dengan nada ketus. “ Apa … Maaf …“

Novia bernada tegas. “Segampang itukah kalian bicara? Itu tidak semudah bicara, aku sudah terlanjur benci anak kalian, tidak ada maaaf untuk anak kalian seumur hidupku!“

Semua tersentak, termauk Budiasa yang diemper gubuk.

Novia mengelurkan isi hati yang terpenam. “Nama baikku yang sudah dibuat buruk selama dua tahun dan tidak naik kelas, itu tidak terbayarkan!“

Menatap tegas Kadek Sudiana. “Kutukannya akan hilang bertahap setelah pengakuan, tapi maaf tidak akan, selamanya …”

Novia melangkah cepat keluar gubuk, tidak ada yang berani menghentikannaya, semua hanya menatap Novia keluar pekarangan gubuk.

Hari berganti ulangan akhir semester dua diselenggarakan, semua mengikuti dengan baik, ketika kenaikan kelas semua dinyatakan naik, saat pembagian rapot dikelas Novia paling belakang diberi rapot, Cita yang dimeja guru memanggil Novia.

Cita memaggil Novia. ”Novia harap kesini.“

 Novia melangkah mendekati meja guru, saat behenti rapot diserahkan lalu diambil.

Cita memjelaskan. “Novia andai peraturan sekolah dapat dirubah maka kamu dapat juara satu, kemapuan kamu setara juara satu, jadi karena itu kamu ibu taruh di predikat empat.“

Novia memandang rapot. “Tidak apa-apa bu, yang penting saya naik kelas“

Cita mentap Novia, sedikit memaparkan. “Kalau sampai nilai kamu dikelas lima turun drastis, berarti kecurigaan kami benar-benar tepat.“

Novia menatap Cita bingung. “Memang ada apa?!”

Menghela nafas, Cita memperingatkan Novia. “Wali kelas kelas lima, itu bu Sri Murni, hati-hati jangan sampai kamu buat masalah dengannya, kamu tahu kan dia kayak apa.“

Novia menyaut santun. “Baik bu.“

Waktu berlalu kini Novia telah kelas lima, wali kelas adalah bu Sri Murni, perasaan Novia kecut, untuk bertanya langsung, karena sarana yang wajib diawa belum pernah dibuat. Arini ketua kelas dimintai bantuan untuk bertanya.

Novia memelas. “Arini tolong tanyakan sama bu Sri apa itu Rayunan.“

Lihat selengkapnya