MENCAPAI PIAGAM

noviadewi
Chapter #11

MENGUATKAN DIRI

Novia berlari secepat mungkin, mengikuti jalan menurun, lalu masuk kerumah gubuk, mengambil jerigen isi lima liter yang kosong dan handuk, secepat mungkin mengambil air. Novia mengambil air disumber mata air yang agak jauh, disana keadaan sepi, Novia tergiang akan pesan dari Wisnaya.

“ Bapak yakin suatu saat nanti Novia jadi orang sukses dan disana kami akan bertemu, Novia adalah murid terbaik yang saya ajar, dan dimana ada murid seperti dia, kemana pun bapak akan berbagi kisah luar biasa Novia dan dia pantas jadi panutan “, ucap Wisnaya.

Mata Novia bekaca-kaca, “ Ternyata pak Wisnaya…. “, dalam pemikiran.

Ucapan Wisnaya terngiang, “ Mungkin perjalanan hidup Novia tidak mudah, pasti ada kesusahan yang dihadapi, tapi bapak yakin dia mampu melalui semua itu dan jadi sukses, kisahnya akan jadi inspirasi bagi siapa pun “.

Tanpa sadar air mata Novia menetes, “ Betapa bodohnya aku, percaya begitu saja ucapan penghasut, yang aku sesalkan aku tidak menjabat tangannya saat perpisahan “, batin Novia.

Air mata yang jatuh, dihapus dengan jemari, “ Apa kah aku bisa jadi orang sukses yang diharapkan pak Wisnaya, aku tidak punya bakat, aku ini tidak didukung, malah keluarga intiku meremehkan dan suka mematahkan semangatku, bisakah aku ?! “, batin Novia ragu.

Semilir angin berhembus, gemericik air yang lewat diantara batu pankungan (kali yang berukuran kecil), menjadi penghibur hati Novia yang sedih mendalam.

Menatap langit biru dengan beberapa awan kecil, “ Keadaan semacam ini kapan berakhir, siapa yang tulus dan dapat dipercaya, semua terasa jauh dariku “, batin Novia.

Mata menatap sekitar, saat duduk dipinggir pangkungan ada kertas nota yang telah pudar tulisannya, Novia memandang kertas itu, setelah cukup lama Novia menemukan tujuannya.

“ Ya…., ketemu, aku sudah ketemu harus apa dan mau kemana, ya…., aku punya bakat dalam membuat cerita, ini adalah bakatku, aku harus mengasah bakatku ini “, batin Novia, seyum semangat terpancar.

Namun berubah cemberut, “ Tapi…, ikut kursus atau lomba, tempatnya jauh, Denpasar itu jauh, mana aku belum mahir bawa motor, aku masih SMP mana punya SIM, ini saja bawa motor ada kebijakan dari polisi, tapi…”, batin Novia.

Setelah cukup lama termenung, Novia teringat akan sesuatu, “ Oh ya…, prosedur buat novel ada dibuku, contoh novel ada di perpustakaan, dan bawa motor harus aku pelajari yang penting nanti tidak ngebut dan pakai helm dan kondisi motor standar tidak pretelan jadi aman lah… “, batin Novia yakin.

Hari berganti sesuai jadwal upacara bendera memperingati hari PGRI, dilaksanakan, Novia tidak paham kenapa pakai seragam hari senin dihari sabtu, setelah berlangsungnya upacara Novia baru tahu kalau hari itu hari PGRI. Hari dimana guru dapat penghargaan atas pengabdiannya dalam mencerdaskan murid, Novia teringat dengan Wisnaya, air mata menetes saat Himne Guru berkumandang, Novia masih rapi dalam barisan, semua kegiatan berlangsung sesuai rencana.

Saat pulang sekolah Novia harus jalan kaki, sesuatu yang selalu dijalani hampir enam bulan ini, panas terik dihadapi, langkah demi langkah terus bergerak, jarak tempuhnya lumayan, yaitu sembilan kilometer. Novia sering diledek, berjalan kaki oleh sekelasnya dulu, Novia sagat kesal, tapi didalam hati dipendam.

“ Awas saja kalian, tidak lama lagi aku pasti bisa, aku akan pakai kendaraan yang standar dan pakai helm, tidak seperti kalian tidak pakai helm “, tekad hati Novia.

Kakai terus melangkah melewati jalan meliuk menanjak, terik matahari tidak tersa, karena yang terpatri dalam pikiran Novia adalah cara untuk mencapai apa yang mau dia capai.

Waktu berlalu, selama dua pekan libur semester, Novia latihan bawa motor, beberapa kali mengalami jatuh, Novia tetap bangkit, luka lecet diabaikan demi bisa lancar bawa motor, akhirnya Novia bisa.

Senyum semangat, “ Akhirnya aku bisa….. “, ucap Novia gembira dalam hati.

Termenung sesaat, “ Bawa motor yang sulit aku bisa, apa lagi bikin novel aku pasti bisa, lagi pula buku dan pulpen tidak seberat motor, lagian aku juga ada inspirasi buat novel, aku manfaatkan waktu senggang dan jam kosong kalau ada hehe…. “, pikir Novia.

Namun jalan mulus tidak akan selalu didapat, ada masalah yang selalu dihadapi, saat perjalanan pulang Novia dipepet-pepet oleh Adrianto dan Jodi dari sisi berbeda, Novia mengurangi kecapatan. Dari belakang Novia ditendang dengan kaki oleh Warsadi sambil mengemudikan motor, keseimbangan goyah, namun bisa bertahan, namun diserempet oleh Cica dari kiri hingga keseimbangan goyah, Novia jatuh kekiri tertindih motor. Dari belakang ada yang melihat kejadian itu, dua motor dikendarai murid yang berboncengan, mereka berhenti, lalu membantu Novia. Motor dibantu berdiri oleh seorang siswa berhelm, jaket hijau kombinasi kuning mengingatkannya pada seseorang, lalu berdiri, rasa perih luka lecet ditahan.

Memperhatikan sesaat, lalu motor, motor biru membuatnya terkejut, itu adalah Diana Saputra, Novia tidak percaya Diana membantunya, lalu Devi dan Meri turun dari motor melepas helm. Mereka mendekat, Meri memandang kesal kearah barat, mereka yang mencelakai Novia telah jauh.

Bernada tinggi, “ Terlalu banget sih mereka “, ucap Meri kesal.

Geram, “ Ini perlu dilaporin kepolisi “, ucap Devi.

Dengan raut datar, “ Sudahlah Devi…., itu semua anak orang kaya didesaku, kecuali yang bikin aku jatuh tadi yang motor merah setrip oren itu, dia anak buruh sama kayak aku, cuma dia pintar cari muka “, jelas Novia.

Bingung, “ Cari muka? Bukankah dia sudah punya muka, memag satu muka tidak cukup “, ucap Meri.

Dayu dan meri tertawa.

Membuka kaca helm, “ Eh… kalian…., dia serius tidak bercanda “, nasihat Diana.

Lihat selengkapnya