MENCAPAI PIAGAM

noviadewi
Chapter #32

MEMORI POSITIF

Selama beberapa tahun ini Novia menjalani hidup sesuai yang diinginkan Nengah, jarang keluar rumah, jarang komunikasai yang mebuat Novia terkesan anti sosial. Jauh dihati Novia sangat berharap bisa punya teman, namun ragu posisinya jadi istri kedua akan sangat merisihkan bila ada yang dekat. Rasa ketidak cocokan dalam lingkungan itu membuat bingung, terlebih saat rumah bata selesai dan punya anak laki-laki dan itu adalah ancaman bagi para ipar, apa lagi kalau bukan masalah warisan, sangat sepi dunia Novia.

“ Sepertinya tembok ini yang tahu dan mencatat segala yang terjadi “, batin Novia.

“ Andai Suastawa masih ada aku pasti punya teman, pastinya dia tidak memberi pengaruh buruk, seperti merek-mereka itu “, pikir Novia.

Teringat disaat itu, Suastawa menuju ketempat mereka berada, melihat papan melamin itu dengan santun diminta.

“ Ardana…, bisakah kamu kembalikan pada Novia “, ucap Suastawa lembut.

Tanpa kata diserahkan pada Novia, dengan cengar-cengir, Novia heran dengan tingkah Ardana.

Memandang Suastawa, “ Dia masih baikkan?! aku lihat selama ini cengar-cengir atau senyam-senyum “, ucap Novia.

Tersenyum, “ Ya… Ardana masih baik, memang kelakuan dia memang begitu bukankah ini suatu keunikan “, ucap Suastwa lembut.

Merasa bersalah, “ Maaf atas kelakuan Ardana yang mengganggu kamu Novia “, ucap Suastawa lebut.

Kembali kesaat ini, “ Kamu sangat menjaga perasaan teman “, batin Novia.

Setelah termenung lama inagatn kembali saat Novia diperhatika oleh Susatawa, waktu itu saat siang, seperti biasa Novia meluangkan waktu untuk menulis, kali ini didepan ruang komputer, sebuah langkah kaki memecah suasana, setelah ditoleh ternyata Sustawa, mendekat kearah Novia, setelah cukup dekat berhenti.

Senyum, “ Apa boleh aku temani ?”, tanaya Suastawa santun.

Raut biasa, “ Boleh “, ucap Novia.

Setelah hening cukup lama Suastawa melontarkan pertanyan, “ Tadi pagi kamu aku dengar nagamuk di kelas sepuluh lima, apa itu benar ?”, ucapnay santun.

Menghela nafas, pandagan lurus, “ Ya, aku sangat kesal dengan dua orang murid yang ada dikelas sepuluh lima, mereka suka menyindir, menghia dan cari masalah, padahal aku tidak pernah buat masalah dengan mereka, sejak SMP mereka selalu begitu, tadi pagi adalah puncak kekesalanku “, jelas Novia.

Menatap prihatin, “ Tapi kenapa mesti dengan amarah, malah mereka akan makin jadi kelakuannya “, ucap Suastwa.

Memejamkan mata sebentar, “ Ya, mereka akan makin jadi, tapi itu yang terakhir, aku tidak akan perduli lagi mereka ngomong apa, lagian mereka hanya berani bacot saja “, ucap Novia.

Susatawa menarik nafas lega, “ Baguslah kamu memaafkan mereka “, ucap Sustawa.

Tertawa kecil, “ Maaf, sepertinya tidak, aku sulit memaafkan orang seperti mereka, aku sangat kesal pada mereka jadi tidak perduli adalah tanda kebencian terdalam “, ucap Novia.

Melirik tajam, “ Jagan perpanjang lagi, aku tidak mau ingat itu “, ucap Novia tegas.

Novia lanjut menulis dikertas buku tulis, Sustawa memperhatikan tiap kata yang dibuat oleh Novia.

Lihat selengkapnya