Markesot tidak benar-benar bisa dengan saksama mendengarkan serbuan kata-kata Kiai Sudrun. Sebab, dia sungguh termangu-mangu oleh yang dialaminya.
Dia memang memutuskan untuk pergi mencari Kiai Sudrun. Sejauh apa pun akan dia tempuh. Menelusuri jalanan, lorong, dan tepian yang tak dilewati orang. Dia masuk dan keluar, turun dan naik, muncul dan menghilang, menempuh lorong-lorong, rel kereta, sungai, hutan, gelap, dan kesenyapan.
Keluar masuk dirinya, menyisir nuansa, meraih-raih cakrawala, menempuh segala satuan sunyi dan sepi, mencari Kiai Sudrun untuk melarikan diri agar mendapatkan jalan untuk kembali. Sungguh tak diduga bahwa di sini Kiai Sudrun memergoki dan membentak-bentaknya.
“Untuk apa kamu buang-buang waktu ke sini?” Kiai Sudrun memarahinya lagi.
“Karena sudah cukup lama waktu saya di Bumi terbuang-buang percuma juga,” jawab Markesot.
“Kamu boleh menjawab,” kata Sudrun, “sepanjang saya memperbolehkanmu menjawab. Namun, kamu tidak boleh menjawab kapan saja saya melarangmu menjawab.”
“Baik, Kiai.”
“Sekali lagi tidak ada hak atau kewajiban di sini, apalagi demokrasi yang miring dan maniak hak, tanpa mengungkap bahwa kewajiban lebih utama dan merupakan asal-usul haknya hak.”
“Paham, Kiai.”
“Di sini bukan wilayah dialektika antara kewajiban dan hak. Di sini pascakewajiban dan hak. Di sini bukan arena perjuangan, melainkan tempat lebih tinggi bagi makhluk-makhluk Tuhan yang sudah menyelesaikan dan lulus menjalani perjuangan.”