Dahulu kalau Kiai Sudrun membentaknya, Markesot sering hanya tertawa. Sudrun mentransfer ilmu bisa dengan cara bermacam-macam. Marah, diam, menghilang, berlaku gila, tertawa tidak wajar, tidur dengan dengkuran aneh atau berlebihan. Atau, banyak cara lagi.
Akan tetapi ternyata di tempat itu, ketika Sudrun membentak dan mengusirnya, Markesot tidak bisa tertawa. Ini memang sungguh bukan wilayah kehidupan seperti biasa.
Sebenarnya kalau disebut Markesot merasa ketakutan oleh bentakan Sudrun yang sangat lantang dan memantul-mantul, tidak juga. Dia hanya seperti disihir dan mungkin pingsan. Kesadarannya tersisa hanya sangat sedikit dan tipis.
Markesot terlempar oleh suara lantang Sudrun itu ke suatu wilayah lain entah di mana. Namun, tanpa sengaja dia bergerak balik ke tempat semula. Anehnya, ternyata Kiai Sudrun tidak marah melihat dia nongol kembali.
“Kenapa kamu kembali lagi ke sini?” Sudrun bertanya dengan suara lunak. Tidak seperti sebelumnya.
“Maaf, Kiai,” jawab Markesot. “Saya tidak tahu bahwa saya kembali ke sini. Saat ini bahkan saya tidak bisa membedakan antara kembali dan pergi. Apakah di semesta ini masih ada orang yang pergi, atau kembali?”
Kiai Sudrun tertawa terkekeh-kekeh.
“Bukankah pergi hanya dilakukan oleh makhluk yang belum sampai, Kiai?”
Kiai Sudrun semakin terkekeh-kekeh.