Mencari Jalan Pulang

Nita Roviana
Chapter #1

Sepenggal Ingatan yang Tertinggal

Kata Bulik (sebutan untuk adik perempuan bapak atau ibu dalam bahasa Jawa) dahulu waktu aku masih kecil, aku adalah gadis kecil yang unik. Kata Bulik, aku orangnya sangat penakut dan pemalu. Tidak seperti gadis kecil lainnya, yang kalau disapa oleh tetangga akan menanggapi dengan senyuman atau tawa. Aku justru langsung berlari sembunyi ke dalam rumah ketika ada orang yang lewat atau menyapaku meskipun itu tetangga atau teman Bulik. Aku hanya akan menyaut dan menanggapi sapaan 2 orang teman baik Bulik yang memang sering datang ke rumah.

Sejak kecil aku memang lebih sering diasuh oleh keluarga nenek daripada diasuh oleh kedua orang tuaku. Mereka berdua sibuk bekerja sehingga hampir setiap hari aku dititipkan di rumah nenek dan diasuh oleh Bulik yang waktu itu masih berusia 20-an tahun.

Masih kata Bulik, aku juga anak yang gampang merasa jijik. Kalau dalam bahasa Jawa namanya “jirihan”. Aku tidak mau jika harus berbagi tempat makan, sendok, gelas, atau apa pun kepada orang lain termasuk sepupuku yang juga diasuh oleh Bulik. Bahkan, aku tidak pernah mau bertelanjang kaki karena menurutku tanah yang diinjak dengan kaki telanjang merupakan hal yang menjijikkan.

Karena kebiasaan-kebiasaan yang unik itu, aku tidak memiliki banyak teman. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bermain di dalam atau terkadang di teras rumah Nenek. Aku juga tetap bermain masak-masakan, bermain boneka, bermain rumah-rumahan sendiri. Terkadang dengan sepupuku jika dia mau.

Namun, ada satu orang tetangga Nenek yang usianya mungkin terpaut sekitar 1 atau 2 tahun lebih tua dariku yang mau berteman denganku. Usiaku kala itu sekitar 3 tahun. Aku lupa apakah dia sudah masuk sekolah TK atau belum. Yang kuingat darinya adalah hampir setiap hari, dia datang ke rumah Nenek untuk menemaniku bermain.

Jadwal kunjungannya seolah rutin. Tiap pagi seusai sarapan dan mandi, sekitar pukul 9 pagi dia datang ke rumah. Jika kami bermain masak-masakan, dia yang akan keluar rumah mencarikan bahan-bahan seperti dedaunan dan bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar rumah kami. Sementara aku menyiapkan mainan alat-alat masak dan mengambil air di kamar mandi. Seolah dia tahu kalau aku takut bertemu dengan manusia lain.

Kemudian jika kami bermain rumah-rumahan, maka aku yang akan mengatur bagaimana skenario ceritanya dan seperti apa perannya. Dia harus menuruti apa perkataanku dan kemauanku. Terkadang jika ada sesuatu yang membuatku kesal, aku akan mencubitnya atau mencakar tangannya. Dan dia hanya akan diam tanpa membalas kembali perlakuanku padanya. Dia hanya akan menuruti kata-kataku tanpa konfrontasi sedikitpun. Kalau dipikir-pikir, aku sungguh jahat ya waktu itu. Namun, anehnya dia tetap mau berteman dan bermain denganku setiap hari.

Jika aku merasa bosan atau lelah bermain, aku akan menyuruhnya pulang. Atau jika kami keasyikan bermain dan sudah waktunya untuk makan siang, dia akan berpamitan padaku untuk pulang, makan siang dan tidur siang. Setelah itu, dia akan kembali lagi menemuiku sekitar pukul 2 siang atau sore hari seusai Asar ketika dia sudah selesai mandi sore.

Kami melewati hari demi hari bersama. Hingga pada suatu siang, seperti biasa dia berpamitan pulang kepadaku untuk makan dan tidur siang. Dan seperti hari-hari yang lainnya, dia berjanji akan kembali bermain lagi seusai itu. Aku mengiyakan. Waktu berlalu. Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang. Namun, dia belum datang ke rumah.

“Mungkin 1 jam lagi dia akan datang ke sini. Pasti dia makannya banyak sampai kekenyangan dan tidur dengan nyenyak, hihi,” kataku dalam hati sambil membayangkan.

1 jam sudah berlalu dan belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku mulai menerka kembali. “Mungkin dia akan ke sini seusai mandi sore. Aku akan menunggunya,” batinku.

Berulang kali aku melihat jam dinding dan dia masih tidak kunjung datang. Aku mulai merasa cemas, tetapi juga sekaligus kesal. Tidak biasanya dia seperti ini. Ini adalah pertama kalinya dia mengingkari janjinya kepadaku.

“Iiih, kenapa dia gak datang-datang? Kalau sampai dia ke sini lagi, akan kumarahi dan kucubit lengannya. Huh,”kataku kesal.

Sebenarnya rumahnya tidak jauh. Hanya berjalan lurus dari arah rumah Nenek melewati 4 rumah kemudian belok kiri kurang lebih sejauh 50 meter. Bagi orang dewasa itu jarak yang sangat dekat. Tetapi bagi anak kecil penakut sepertiku, itu sudah cukup jauh.

“Apa aku harus mendatangi rumahnya ya? Tetapi aku takut melangkah jauh ke sana.” Batinku berkecamuk antara iya atau tidak.

Akhirnya aku memutuskan untuk mondar-mandir dari teras rumah ke jalanan di depan rumah Nenek. Aku hanya berani melangkah sejauh itu, berharap aku bisa melihatnya sedang berjalan menuju ke sini dan segera berlari menghampiriku yang sedari tadi telah menunggunya. Namun, apa yang kuharapkan tak muncul jua. Aku kembali menghampiri jalanan depan rumah Nenek entah untuk kesekian kalinya. Dan yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri adalah serombongan tetangga pria yang sedang menggotong keranda mayat sedang berjalan menuju pemakaman sambil serentak melafalkan “Lailahaillallah” berulang kali.

Di belakang rombongan pria, ada serombongan wanita dewasa yang menabur bunga serentak ke arah keranda tersebut. Bunga-bunga itu berjatuhan di sepanjang jalan yang dilewati. Aku berdiri terpaku melihat pemandangan itu. Dengan kecewa, aku kembali masuk ke dalam rumah.

“Jadi itu alasannya, dia tidak kunjung datang menemuiku. Ternyata ada tetangganya yang meninggal dunia, jadi dia tidak bisa keluar rumah dan bermain denganku lagi.” Rasa penasaranku pun terjawab sudah.

***

Waktu berlalu. Hari demi hari berganti. Dan temanku tidak pernah datang mengunjungiku lagi. Mungkin dia beranggapan bahwa aku pasti marah kepadanya karena dia telah mengingkari janjinya. Atau mungkin dia takut aku akan mencubit dan mencakarnya dengan lebih keras. Yah, mungkin itu pilihannya untuk menjauhiku atau tidak mau berteman denganku lagi. Aku tidak pernah menanyakan apa pun kepada Bulik atau pun anggota keluarga lainnya tentang keberadaannya. Kini aku bermain seorang diri.

***

7 tahun kemudian

Aku sudah bersekolah kelas 4 SD. Aku lebih jarang menginap di rumah Nenek karena aku sudah lebih mandiri. Sesekali tiap weekend atau hari libur, aku baru menginap di rumah Nenek. Aku juga memiliki beberapa teman sepermainan di lingkungan rumahku sendiri walaupun kebanyakan cowok.

Hari itu hari Kamis. Aku dan teman-temanku sedang bermain layangan di kuburan dekat rumah. Waktu itu memang musimnya sedang bagus untuk bermain layangan sehingga kami tidak merasa takut karena di kuburan banyak teman-teman lain yang beradu layangan juga. Ketika sedang asyik bermain, aku melihat sosok yang tidak asing sedang berjalan menuju ke pemakaman seseorang. Dia membawa 2 ikat bunga. Orang itu melihat ke arahku dan mata kami pun bertemu.

Lihat selengkapnya