Mencari Jalan Pulang

Nita Roviana
Chapter #2

Aku & Sepeda Tua Kakek

Sudah aku beri tahu sebelumnya bahwa aku adalah seorang gadis kecil yang sangat penakut. Ketika teman-temanku yang berusia 4 tahun sudah mulai didaftarkan orang tuanya untuk masuk TK, aku masih belum mau. Aku baru mulai bersekolah di TK satu tahun kemudian, itu pun karena dipaksa oleh orang tuaku bahwa aku sudah harus bersekolah. Mau tidak mau aku resmi menjadi murid di salah satu Taman Kanak-Kanak saat usiaku genap 5 tahun.

Lokasi sekolahku sebenarnya dekat dengan rumahku. Namun, lagi-lagi karena kesibukan kedua orang tuaku, aku harus diasuh oleh keluarga nenek dari pihak bapakku. Bapak tidak pernah mengantarku ke sekolah karena Bapak harus berangkat bekerja pagi-pagi buta. Ibulah yang akan mengantarkanku ke TK setiap pagi sebelum berangkat bekerja di pasar untuk berjualan di warung kecil kami.

Karena Bapak dan Ibu tidak bisa menjemputku pulang sekolah di siang hari, maka yang bertugas menjemputku adalah Kakek. Kakek selalu menjemputku dengan sepeda tuanya. Pada waktu itu di akhir era 90-an, belum banyak orang yang memiliki kendaraan bermotor pribadi seperti zaman sekarang. Masih banyak orang yang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat tujuan yang lain. Jika jaraknya terlalu jauh, orang-orang biasanya akan menaiki kendaraan umum seperti bus dan angkot. Delman dan becak juga bisa menjadi opsi yang banyak diminati oleh ibu-ibu atau orang yang lanjut usia.

Kakek selalu sabar menungguku pulang sekolah. Padahal aku tahu bahwa Kakek sibuk. Sibuk berjualan tahu di salah satu emperan toko dekat pasar bersama dengan Nenek. Akan tetapi, Kakek masih mau menyempatkan waktunya untuk menjemputku. Meninggalkan Nenek berjualan seorang diri untuk sementara waktu.

Ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi, aku segera berjalan keluar sembari celingak-celinguk mencari lokasi di mana Kakek menjemputku.

“Ah, itu dia,” kataku.

“Kakeeeek.”

Aku memanggilnya begitu melihat Kakek sedang melihat ke arah pintu kelas menungguku keluar. Aku merasa lega setiap kali melihat Kakek sudah ada di sekolah menungguku. Aku tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Kakek kemudian memeluknya dengan erat. Kakek selalu tersenyum melihat tingkahku yang lucu.

“Ayo naik. Sini Kakek bantu gendong,” kata Kakek membantuku duduk di kursi belakang.

“Kakinya jangan diayun-ayunkan ya, berbahaya. Nanti kakimu bisa terjepit di sela-sela roda sepeda. Taruh kakimu di sini saja,” tambah Kakek menasehatiku sambil mengatur posisi kakiku agar tetap aman saat sepeda berjalan.

“Iya, Kakek,” kataku menuruti ucapan Kakek. Kakek mulai menegakkan sepeda dan menaikinya.

“Ayo pegangan di pinggang Kakek,” pintanya.

Aku menuruti perkataannya. Perlahan Kakek mulai mengayuh sepedanya, berjalan meninggalkan sekolahku yang ramai.

***

Lihat selengkapnya