Mencari Jejak Bunda

Afin Nur Fariha
Chapter #2

Mari Kita Lanjutkan Cerita Ini

 

Yogyakarta, 11 Januari 2019


Namanya Mutiara. Pada akhir 2018, seusai wisuda dari jurusan filsafat, ia bekerja di sebuah penitipan anak. Setiap hari, setelah sembilan jam mengasuh para balita, ia kemari. Memberondongiku dengan berbagai kisah sukaduka menjadi seorang guru daycare. Setelah puas menumpahkan ingatan tentang rutinitas kerjanya, ia berpamit pulang. Indekos kami hanya terpisah oleh seberang jalan.

"Sampai besok sore lagi, ya!" katanya penuh kemenangan.

Aku mengangguk. Turut merasa lega, ia dapat beristirahat dengan lapang. Apapun yang terjadi di tempat kerja hari ini, harus ia tuntaskan hari ini juga. Ia tak sudi repot-repot membawa secuil pun ingatan dari tempat bekerja di dalam kamar kosnya. Meski tidak selalu, namun beberapa kali ia dipandang aneh oleh rekan-rekan kerja maupun oleh wali murid. "Ya, tidak semua tempat memang dapat menerima perbedaan," guman Mutiara saat mengadu.

Ia yang sehari-harinya lebih memilih berpakaian tomboi dan simpel meski tetap mengenakan hijab dianggap terlalu berbeda dari lingkungannya, dan dari panggilan yang harus disandangnya, "bunda". Satu lagi, cara berkomunikasi dengan balita asuhnya juga dianggap seperti kurang wajar.

"Anak belum bisa ngomong kok ditanya-tanyai, mana mereka mengerti, Bun? Kadang, anak-anak itu menangis tanpa sebab yang nyata, mereka hanya butuh menangis saja. Tugas kita membuat tangisnya berhenti, seperti dengan memberinya mainan, jajan, minum. Tidak perlu ditanya menangis itu perasaan apa? Senang atau sedih? Jika sedih, apa yang bisa dilakukan selain menangis? Itu hanya akan membuat tangis mereka semakin menjadi," ulas Mutiara dengan kesal meniru hardikan rekan kerjanya.

Pada sore yang lain, ia mengadu, "Balita-balita itu seperti kaset kosong, Beb! Mereka punya ruang ingatan yang sangat luas untuk merekam apa yang mereka lihat dan dengar. Kita harus berhati-hati di dekatnya. Mereka menirukan apa saja kata dan perilaku kita tanpa mengerti makna dan konteksnya, seolah tak ada yang benar-benar serius bagi mereka, segalanya menjelma lelucon."

"Lelucon gimana?" tanyaku.

"Beb, melihat tingkah aneh balita-balita itu, aku suka refleks dengan bilang 'pusingnya, Ya Gusti', kata-kataku ini ditirukan oleh Acil di depan teman-temannya. Lantas, gengnya Acil tertawa sambil satu per satu mengatakan 'pusingnya, Ya Gusti' dengan ekspresi dan penekanan yang sama persis. Padahal mereka sama sekali tak mengerti tentang beban kehidupan."

"Haha, bisa lucu begitu, ya?" jawabku tak sungguh-sungguh, hanya ingin membuatnya yakin, ia sedang didengar.

"Saat aku nasihatin bocil-bocil itu ya, Beb, mereka juga bisa menirukan kalimatku persis seperti yang kukatakan dengan gestur yang persis pula. Benar-benar kayak beo," lanjutnya dengan nada yang makin antusias.

Aku tahu, Mutiara hanya ingin melepas penat sepulang bekerja. Ia menemukan telingaku, yang dijadikannya kolah sebagai tempat berbasuh. Meski demikian, aku tak keberatan. Bagiku, Mutiara adalah seorang pencerita yang menyenangkan, terlebih nada dan air wajahnya yang ekspresif, semakin membuat betah mendengarnya. Tapi, sebenarnya, kalau kupikir-pikir lagi, aku tak terlalu tertarik dengan ceritanya, lebih tepatnya, aku mencandui kehadirannya yang membawa kehangatan.

Lihat selengkapnya