324 hari sebelum Kancil bertemu dengan Jihan ....
Sudah beberapa waktu Maman membuat ulah yang meresahkan anak-anak di Warmes. Awalnya, mereka tidak ada yang percaya kalau Maman itu punya pacar. Tapi, Maman terus meyakinkan kalau ia sudah tidak berstatus jomba lagi atau jomblo purba. Nama pacarnya itu Intan, tapi dia memanggilnya "Ayang". Karena anak-anak terus meragukan, Maman pun akhirnya membuat pernyataan kalau hari Sabtu nanti dia akan mengenalkan Intan kepada mereka semua.
Sampai hari yang dinanti datang, anak-anak terus berspekulasi tentang sosok Intan, berdebat seperti apakah rupa Intan, bagaimana mereka harus bereaksi ketika Maman mesra-mesraan dengan pacarnya itu di depan mereka: muntahkah mereka nanti melihatnya? Atau itu akan jadi pengalaman traumatis bagi mereka?
Melebihi saat SC (Secure Circle) mengadakan rapat penting, anak-anak datang lebih awal malam itu. Mereka semua sudah tidak sabar bertemu dengan gadis yang bernama Intan itu.
"Kalem, kalau Maman sama ceweknya pegangan tangan, jangan ada yang ketawa," kata Sandi sambil menahan dirinya sendiri ketawa. Sandi dan Sandru tadi yang terakhir datang, karena mereka adik-kakak, kadang mereka datang bersama-sama.
"Udah di mana si Maman-nya?" tanya Kancil.
"Lagi mau ke sini," jawab Sandru.
Kemal yang tidak kuat menahan geli, berdiri sambil menggosok-gosok punuknya. "Kenapa urang yang jadi deg-degan geli-geli gini, ya?"
Semua tertawa. Karena semuanya juga merasakan yang Kemal rasakan. Yaitu, perasaan geli menjalari tubuh.
Mungkin akan lain ceritanya jika Maman tidak berkelakuan konyol dan menggelikan selama mereka mengenalnya, tidak akan terjadi kehebohan seperti ini ketika Maman mendeklarasikan akan membawa pacar menemui anak-anak.
Mereka semua sedang berdiri di depan pagar halaman warung Tante waktu mendengar ada suara motor. Itu motornya Ibuy, semua hafal suara knalpotnya. Maman memang belum punya motor, jadi dia sering meminjam motor yang nganggur di Warmes kalau dia ada keperluan.
Ibuy menyenggol lengan Kancil. "Si Maman datang."
Kancil mengangguk. "Heh, serius, serius," dia mengingatkan yang lain. "Cool semua. Yang ketawa semoga jodohnya dijauhkan sampai ke Antartika!"
"Sompral!" tegur Caesar tapi sambil tertawa.
"Pssst!" Kancil menyuruh Caesar jangan ribut.
Sebuah motor memang berhenti di depan mereka. Maman turun. Tapi, ada yang ganjil, karena Maman cuma datang sendirian.
"Eh, mana Intan-nya, Man?" tanya Kemal bingung.
"Tuh, kan, maneh mah!" tegur Ibuy. "Ngawadul!" Artinya adalah berbohong.
Maman tampak memelototi anak-anak dengan galak. "Jangan gini atuh." Dia lalu menghadapkan diri ke arah motor Ibuy yang sudah dia standarkan. "Kenalin, ini Intan," lanjutnya.
Hening. Anak-anak mencoba memahami maksud Maman.
"Ayang, ini yang namanya Warmes," kata Maman seolah ada orang berdiri di sebelahnya. "Ini temen-temen aku: itu Sandi, Ibuy, Cungkring, Dimas, Kancil, Sandru, Ahmad, Giant sama Kemal—Kemal emang ganteng, tapi kamu jangan suka! Sukain aku aja!" Maman seolah memperkenalkan seseorang pada teman-temannya.
"Man, baleg!" tegur Kancil. "Maneh bobogohan jeung jurig?" Itu artinya: Man, yang bener aja, kamu pacaran sama hantu?
Maman tampak tersinggung. "Yang, maaf. Di sini emang becandaannya kasar," katanya pada udara kosong. "Cil, dijagalah omongannya. Nanti Intan nggak mau lagi ke sini."
Semua anak-anak terus menegur Maman karena melakukan hal tidak masuk akal itu. Tapi Maman seolah tidak terusik. Malah, sampai besok dan besoknya lagi Maman terus mengajak "Intan" itu nongkrong di Warmes.
"Yang, mau pesen es teh manis?" Maman menawarkan ke arah kursi kosong. Si Ibuy yang duduk di dekat situ langsung menggeser karena merasa tidak nyaman. "Buy, itu si Intan nanya, dijawab. Kamu kelas berapa?"
"Man, serem, ah," keluh Ibuy. "Merinding siah."
"Udah biarin, Yang, si Ibuy emang introvert anaknya," jelas Maman kepada kursi yang tidak ada siapa-siapanya. "Kamu ngobrolnya sama Kancil aja. Cil, dieu!" Maman memanggil Kancil.
"Ih! Serem! Udah, ah, Man! Nggak ikutan!" Kancil pun langsung ngeloyor keluar.
Pokoknya, sampai beberapa hari berikutnya pun Maman masih terus menunjukkan gelagat aneh seperti itu.
Namun, karena Maman terus-terusan melibatkan "Intan" pada setiap kegiatannya di Warmes, lama-lama, Kancil pun jadi terbiasa dengan kehadiran "Intan", begitu pun dengan anak-anak. Kalau Maman datang, anak-anak langsung menyapa dua orang sekaligus, "Eh ada Maman sama Intan!"
Pernah ada satu kejadian, waktu Kancil melempar botol minuman kosong ke tempat sampah tapi meleset, Maman langsung histeris, "Cil, jangan kasarlah ke perempuan!" tegurnya. "Itu kena kakinya si Intan! Minta maaf, maneh."
"Man, makanya, maneh punya pacar itu disimpen di tempatnya. Ngapain disuruh diem di deket tempat sampah?" keluh Kancil.
"Si Intan-nya lagi buang sampah! Makanya maneh hati-hati!" Maman malah nyolot.
Akhirnya, Kancil pun sudah tidak sanggup meladeni permainan konyol Maman itu. Saat Maman tengah berpura-pura memijat kaki "Intan", Kancil membuat isyarat pada anak-anak untuk menjalankan misi yang sudah mereka sepakati. Mereka pun kompak menggotong Maman untuk dimandikan di kamar mandi rumah Tante.
"Rukiyah ala Warmes!" seru Ahmad sambil mengambil air dengan gayung dan mengguyur kepala Maman yang tidak berkutik karena dipegangi.
Maman minta-minta ampun, tapi anak-anak tak peduli dan terus memandikannya. Sampai akhirnya Maman pun pasrah dimandikan. Sambil berganti pakaian meminjam baju Om Warmes, Maman terus ketawa-ketawa, senang karena bisa bertahan melakukan kegilaan itu hingga beberapa waktu.
"Si Maman lieur, ih," decak Kancil ketika Maman yang cengar-cengir melewatinya. Berkat pakaian serbabesar Om Warmes, Maman yang dekil dan jangkung-ceking kini jadi seperti orang-orangan sawah yang bisa jalan karena dihidupkan mantra jahat.
"Kamu stres gini gara-gara ditolak sama si Dena?" cetus Sandi kepada Maman. Dena adalah pegawai salon di dekat jalan besar. Maman sudah naksir gadis semok itu sekitar dua bulan belakangan. Meskipun Maman sudah terang-terangan menunjukkan perasaannya, tapi sepertinya Dena tidak pernah menganggap Maman manusia. Kalau setan sepertinya iya, karena dia bisa mengabaikan Maman sampai ke fase itu. Seolah Maman betulan tidak kelihatan, tidak pernah hidup dan tidak berwujud.
Maman nyengir. "Gimana bisa nolak, urang SMS juga udah empat puluh hari nggak dibales."
"Mungkin dianya nggak ada pulsa kali," komentar Kancil positif.
"Tapi masa aja empat puluh hari nggak beli-beli pulsa," tepis Maman tabah.
"Kalau gitu sih bukan nggak ada pulsa, tapi emang nggak ada perasaan aja," timpal Sandi kejam sembari terkekeh.