Hai, Kancil!

andra fedya
Chapter #7

6. OSPEK

244 hari sebelum Kancil bertemu Jihan ....

Banyak anggota baru di Warmes, salah satunya bernama Gandhi. Tadinya dia tinggal di Bekasi, tapi baru pindah beberapa bulan ke rumah neneknya di daerah Rajamantri, Bandung.

Si Gandhi beserta beberapa anak yang sudah bergabung lebih dulu sebenarnya belum mengikuti ospek, karena ospek hanya diadakan dua kali dalam satu tahun. Terakhir ospek dilakukan lima bulan lalu, jadi bulan ini sudah saatnya mengadakan ospek lagi.

Di Warmes, sambil duduk-duduk dan merokok, Gandhi bertanya pada Kancil, apa saja yang perlu disiapkan untuk ospek nanti yang rencananya akan diadakan di vila keluarga Ahmad, salah satu anggota, di Lembang.

"Kolor tiga pasang, Popmie dua cup, kopi Kapal Api, sama mental," jawab Kancil santai.

Gandhi seperti akan tertawa mendengar jawaban Kancil, tapi karena dia memandang Kancil sebagai senior, dia cuma senyum menunduk. Padahal umur mereka sama.

"Saya nggak galak," tambah Kancil. "Galaknya nanti pas ngospek aja."

Gandhi mengangguk, masih senyum tapi lebih khidmat.

"Yang suka sadis itu si Kemal, shhh, Gan," Ibuy menambahkan sambil minum air putih, karena ia baru makan nasi rames Tante yang sambalnya sangat pedas, bikin bibir serasa terbakar. "Shhh ... Hati-hati aja, lah, jaga sikap sama omongan, shhh, bilangin juga ke yang lain."

"Bener," Kancil menambahkan. "Caesar juga galak." Kancil mengedikkan dagu ke arah Caesar yang sedang mencatatkan sesuatu ke buku tulisnya di samping gerbang. Sepertinya itu daftar absen ospek nanti.

"Kalau nanti pas ospek Kemal nanya, jawabnya jangan sambil liat mukanya," tambah Ibuy. "Inget pokoknya."

"Siap. Liat ke bawah aja," ujar Gandhi.

"Nggak nanya kenapa nggak boleh liat mukanya gitu?" kekeh Ibuy yang bibirnya masih jontor kepedasan.

Gandhi jadi salah tingkah. "Eh, iya, emang kenapa nggak boleh liat mukanya?"

"Dia ganteng!" seru Ibuy.

"Bahaya. Nanti kamu suka," tambah Kancil.

"Naksir berat. Jatuh cinta! Terhipnotis sama mata indahnya," seloroh Ibuy geli.

"Langsung nyanyi: 'lirikan matamu menarik hati, oooh, senyumanmu manis sekaliii'," sambil berdiri, Kancil mulai bernyanyi melantunkan penggalan lagu milik A. Rafiq dengan gerakan heboh.

Kali ini Gandhi tertawa. Tapi ketika Kemal lewat, dia langsung diam seribu bahasa.

"Cil, boleh nanya sesuatu, nggak?" tanya Gandhi disela mereka ngobrol-ngobrol ringan.

"Apa?" angguk Kancil.

"Saya pengen bikin nama julukan juga kaya Kancil. Kamu bisa pake nama itu awalnya gimana?" tanya Gandhi penasaran.

"Mm ... awalnya, ya ...," gumam Kancil, ia tampak mengingat-ingat. "Oh, jadi kan waktu itu main ke rumah temen di Jalan Pelanduk, tadinya saya mau pake nama julukan Pelanduk aja, Landuk gitu, lah, unik. Tapi kan di deket jalan situ, ada jalan namanya Jalan Kancil juga. Dipikir-pikir, nama Kancil lebih imut-imut, ya udah, deh ...."

Gandhi otomatis terkekeh mendengarnya. "Jadi, alasannya biar imut, doang?"

Kancil nyengir. "Iya."

"Emang nama asli kamu siapa, Cil?"

"Rama," Ibuy yang menjawabkan pertanyaan itu. "Diubah biar imut jadi Kancil. Dasar orang iseng dia mah. Padahal nama aslinya udah bagus."

* * *

Beberapa jam sebelum berangkat ke Lembang, Kancil mampir dulu ke rumah Ayu untuk berpamitan. Di sana mereka ngobrol-ngobrol dulu. Kata Ayu, besok papanya pulang ke Bandung lagi, karena mau ada hajatan saudaranya di Cimahi. Jadi, Ayu bilang, selama seminggu dia tidak bisa mampir ke Warmes menemui Kancil, juga sebaliknya, Kancil dilarang keras main ke rumah Ayu.

Ibunya Ayu pengertian, tapi papanya galak dan menyeramkan. Ayu anak bungsu, dan kakak-kakaknya semua sudah menikah, jadi hanya dia sendiri yang tinggal di situ menemani ibunya selama papanya bekerja di tambang. Papanya Ayu memanjakan Ayu, tapi memberikan banyak aturan dan hukuman jika melanggar. Salah satunya adalah tidak boleh pacaran. Papanya Ayu ingin Ayu berkonsentrasi pada urusan sekolah dan tim softball yang Ayu ikuti sebagai kegiatan ekstranya. Untunglah, ibunya Ayu tidak begitu, dia mengerti kalau masa remaja memang identik dengan romansanya.

"Hari ini ada cewek yang ikut?" tanya Ayu kepada Kancil ketika Kancil sedang minum es teh yang dibuatkan Ayu.

"Cuma Didi," jawabnya.

"Kalau Didi aja, aku nggak apa-apa," kata Ayu. "Soalnya dia agak tomboy, kan? Jadinya nggak akan sok kecentilan ke kamu."

"Dia dancer di sekolahnya, lho," Kancil menambahkan. "Rambutnya emang pendek, tapi dia nggak tomboy. Dia suka teriak-teriak kalau liat kecoak, sama aja kaya perempuan lain."

Ayu jadi ketawa. "Jangankan Didi, kamu juga liat kecoak malah lari."

Kancil nyengir. "Ha-ha. Suka gitu kamu mah."

Setelah itu mereka lalu mengobrol sebentar lagi, sampai Kancil pamit untuk pulang karena harus siap-siap dulu di Warmes. Di depan pagar, Ayu bertanya pada Kancil.

"Kenapa kamu mau sayang sama Ayu sih, Cil?"

Mendengar pertanyaan serius yang diucapkan Ayu, Kancil yang hampir memakai helm, menariknya kembali. "Karena kamu butuh perlindungan," jawab Kancil menyampaikan apa yang ada di hatinya.

Bibir Ayu tertarik membentuk senyuman, tapi sambil mengerutkan kening. "Maksudnya?"

"Iya," kata Kancil. "Pertama kali liat kamu, aura kamu kaya minta tolong, minta dijaga ... gitulah pokoknya."

Ayu tertawa. "Kirain mau bilang karena aku cantik atau baik!"

Kancil jadi ikut tertawa. "Itu juga," ia membenarkan.

"Tapi?" Ayu hanya merasa masih ada perlu dia dengar.

"Tapi ... dari omongan-omongan yang kamu ucapin, dari cara kamu nyalahin semua hal kecuali diri kamu ... Kancil simpulin kamu itu orang yang rapuh. Jadi, Kancil pengen jaga kamu. Dari seluruh dunia. Karena kamu nggak percaya diri dan ketakutan ada yang menjatuhkan kamu."

Ayu menyimak ucapan Kancil tersebut dengan sangat serius dan khusyuk. Lalu tak sadar sebutir air mata, jatuh di pipinya. "Cil, aku sayang banget sama kamu ...," ucapnya pelan dan lirih. "Jangan tinggalin aku, Cil, jangan pernah ... cuma kamu yang ngerti aku. Orang lain nggak akan bisa ngerti."

Kancil diam dulu. Masih sambil menggenggam helmnya. "Kalau kamu yang ninggalin?"

"Kalau sampai itu terjadi, artinya saat itu aku bukan jadi diriku. Jadi kamu jangan terima," ujar Ayu. "Jangan mau diputusin sama aku yang bukan diriku."

Kancil menatap Ayu, kemudian ia tersenyum. Ia memakai helm lalu pamit sekali lagi.

Ia belum mau mengiyakan ucapan Ayu, bukan karena ia tidak menyayangi Ayu. Tapi karena ia tahu, terkadang, ada suasana yang mendukung seseorang untuk berjanji. Padahal, bukan kapasitasnya menepati janji itu.

* * *

Kancil naik motor bersama Sandru, mereka melaju di depan. Caesar di sebelah kanannya, memboncengi Didi yang diajak ikut. Kemal berkendara sendiri, tapi dia bawa barang-barang, jadi motornya dipenuhi dus-dus seperti motor pemudik lebaran. Ibuy agak di belakang bersama Ahmad, sedangkan Sandi dan Dimas di sebelahnya, mengawasi iring-iringan. Kalau Maman, dia dibonceng Cungkring, tapi sudah ketiduran sejak lima menit pertama, sambil memeluk Cungkring seolah Cungkring itu kekasih tercintanya.

"Kabogoh maneh geulis euy!" goda Ahmad pada si Cungkring. Maksudnya adalah Maman. Ahmad bilang Maman itu seperti pacarnya Cungkring yang punya wajah cantik.

"Amit-amit!" jawab Cungkring jijik. "Ini mah Mister Gepeng. Dipanggil langsung datang, tapi nyusahin yang manggil."

Ahmad dan Ibuy langsung tertawa. Teringat masa SD mereka, masa-masanya Mister Gepeng menjadi hantu paling populer di kalangan semua murid saat itu.

Sesampainya di vila Ahmad di Lembang, mereka harus kerja bakti dulu membereskan vila. Kata Ahmad, vila keluarganya itu sudah lama tidak ditempati dan tidak ada yang mengunceni jadi banyak tempat yang kotor dan harus dibersihkan. Dan karena temanya ospek, jelaslah yang bersih-bersih adalah orang-orang yang mau diospek. Sisanya, menunggu di luar sambil merokok, bikin kopi atau makan camilan yang ada.

Lihat selengkapnya