Hai, Kancil!

andra fedya
Chapter #10

9. GADIS YANG MENANGIS

Bandung, September 2002

179 hari sebelum Kancil bertemu Jihan ....

Sebagai ganti Ayu yang belakangan sulit diajak nongkrong karena kesibukannya mengikuti les sekaligus latihan intensif softball di lapangan, Ica, pacarnya Dimas mengajak beberapa teman perempuannya yang lain ke Warmes.

Yang paling menonjol dari mereka adalah Utami, dia gadis berdarah Palembang-Inggris, berkulit pucat, berhidung mancung dan berambut panjang tebal kepirangan. Dia cantik. Dan agak mengingatkan kita pada boneka porselen yang suka dimainkan anak orang kaya.

Anak-anak langsung tertarik padanya sejak pertemuan pertama. Bukan saja karena dia secantik boneka, tapi karena dia juga pandai bernyanyi.

Utami pun tidak malu-malu seperti gadis kebanyakan jika dimintai menyumbang suara saat ada anak yang sedang main gitar. Yang paling memperlihatkan ketertarikannya pada Utami adalah Cungkring dan Ahmad.

"Lagu Queen bisa?" tanya Cungkring pada Utami. Cungkring tangannya sudah di senar gitar, tapi matanya tertumbuk pada wajah gadis itu.

"Yang mana?" tanya Utami sambil minum es teh manis yang dibelikan Ahmad. Ahmad tampak sigap berdiri di belakangnya seperti bodyguard-nya.

"Love of my life," kata Cungkring, sambil lekat memandang mata cokelat terang Utami.

"Mm ... bisa sedikitlah, awalnya aja tapi," ujar Utami sambil mengingat-ingat.

"Santai, Mi, kalau lupa liat muka Aa Cungkring aja," kekeh Cungkring genit. "Banyak yang bilang muka aku tuh inspirasional. Britney Spears aja katanya lagunya terinpirasi dari aku."

"Najis," komentar Ahmad cemburu. "Menginspirasi orang mual sih iya."

"Weis, Aa Ahmad, cemburu nih yeeee," goda Sandru sambil terkekeh geli.

Utami cuma tertawa. Bagusnya, dia bukan orang yang gampang dibuat tersanjung oleh gombalan laki-laki macam Cungkring atau Ahmad.

Hitungannya, sudah dua minggu Utami nongkrong bersama anak-anak. Jika Ica tidak ke sana pun, Cungkring atau Ahmad siap sedia menjemput Utami ke sekolahnya untuk dibawa ke Warmes. Alasannya pun bagus, katanya, belum pernah ada perempuan yang suaranya sebagus Utami di Warmes, yang kalau nyanyi bikin hati hangat dan tentram.

"Sejak tahun 1919 ya, Tan?" Cungkring mengajak Tante bersekongkol. "Belum ada yang nyanyi di sini sebagus si Tami. Terakhir itu Nyonya Meneer, tapi cuma berdiri aja itu juga, nggak nyanyi."

"Iyalah, kumaha si Cungkring aja, lah," kata si Tante sambil menghitung kembalian untuk pembelinya.

Utami kembali tertawa, kemudian memberikan buku yang sudah ia tulisi kunci-kunci lagu. "Sheila On 7," ujar Utami. "Dan."

"Oke," ujar Cungkring. Ia pun langsung memainkan lagu tersebut tanpa melihat kunci yang sudah Utami buat, karena memang sudah hafal betul.

Mungkin karena kebiasaan Ayu melarang Kancil dekat dengan perempuan, Kancil jadi satu-satunya orang yang tidak berusaha akrab dengan Utami.

Kancil sudah terbiasa untuk menjaga jarak dengan perempuan, jadinya dia pun memperlakukan Utami seperlunya saja. Kalau Utami nanya, dia jawab; kalau tidak, ya Kancil biasa saja.

Sampai kemudian, ada satu peristiwa kebetulan di mana hujan turun deras dan Utami datang ke Warmes menggunakan becak. Gadis itu muncul dengan keadaan basah kuyup. Warmes saat itu sedang sepi, hanya ada Kancil, Caesar, Didi dan Ido.

"Kamu janjian sama si Cungkring, Mi? Tapi, Cungkring kan lagi sakit," ujar Kancil pada gadis itu di depan pintu masuk.

"Tami nggak janjian sama siapa-siapa, sengaja pengen main aja," Utami menjawab sambil menyisir rambutnya yang panjang dan basah dengan jari.

"Hujan-hujan gini?"

Utami menengadah. "Lagi sedih aja, Cil, jadi pengen ke sini," jelasnya.

Kancil langsung sadar kalau wajah Utami yang biasanya putih bersih, kali ini terlihat kemerahan, termasuk bagian hidungnya, Utami habis menangis.

"Eh, kenapa? Kamu abis nangis?" Kancil bertanya karena ia merasa harus melakukannya. Ia tidak mungkin menghindar kalau ada orang yang bilang sedang sedih kepadanya. Bahkan jika itu si Maman atau siapa yang bilang. Meskipun jika Kancil sendiri sebenarnya sedang sedih, dia tetap merasa harus bertanya.

Utami langsung duduk di kursi makan. Kancil sempat melihat ke belakang, Caesar, Didi dan Dimas sedang serius bermain Othello di dekat meja telepon, jadi Kancil tak punya pilihan selain duduk di depan Utami, menemaninya.

"Tami putus sama cowok Tami," cetus Utami tiba-tiba. "Dia udah nggak sayang."

"Kenapa kamu bisa nyimpulin gitu?"

Utami tersenyum merana pada Kancil. "Dia minta break, alasannya pengen mikirin dulu hubungan kita. Tapi, kok, lama-lama dia malah menghilang ...?"

"Mm ...." Kancil menggaruk rambutnya. "Mungkin itu yang disebut break. Kan jeda dulu, gitu."

"Tapi dia bilangnya sama orang-orang kita udah putus," keluhnya.

"Eh?"

"Ya, makanya, berarti kan dia emang pengen putus," lanjut Utami.

Kancil lalu menanggapi semua keluhan Utami, hingga akhirnya Utami bilang kalau hatinya terasa sedikit plong setelah mengutarakannya pada Kancil. Tidak membaik, tapi lega. Dia senang Kancil mau mendengarkan.

"Masih gerimis," kata Kancil ketika Utami bilang dia mau pulang.

"Tami nggak tau kenapa malah ke sini, ya?" Gadis itu tertawa meski wajahnya masih terus bersemburat merah karena menahan tangis.

"Mungkin karena di sini markas Srimulat, jadi kamu ngerasa kalau ke sini bisa terhibur."

Tami melihat jam tangannya lagi. "Kayanya hujannya nggak akan berhenti," simpulnya. "Mendingan Tami pulang sekarang aja."

Sejenak Kancil ragu, ia dilema antara menawarkan diri mengantar Tami pulang atau membiarkan gadis itu pulang sendiri. Di satu sisi, Kancil merasa tidak tega membiarkan orang yang sedang bersedih kembali merasa sendiri, di sisi lain, ia khawatir jika Ayu tahu Kancil mengantar pulang gadis lain, ia akan sangat marah dan cemburu.

Lihat selengkapnya