Sesampainya di Warmes, Kancil tidak langsung bilang pada siapapun kalau ia sudah putus dengan Ayu.
Dia sedang malas mendengar OST Pedang Pembunuh Naga dinyanyikan, dia sedang malas ditanya-tanyai, dia sedang malas diajak bicara. Jadi, Kancil hanya berdiri di dekat pohon pepaya di dekat tempat Tante sambil merokok sendirian di sana. Ia tidak tahu bahwa, selain merasa kehilangan, putus cinta itu juga menyebabkan indera perasanya tiba-tiba mengalami disfungsi. Rokok yang terjepit di bibirnya, mendadak terasa pahit dan pahang.
Meski masih ingin sendiri, Kancil membiarkan Kemal yang baru datang menghampirinya.
"Aing putus sama si Gina," katanya.
"Naha bisa?" Kancil tampak agak terkejut. Mengingat Kemal dan pacarnya itu sudah pacaran hampir setahun. Dan sepertinya terlihat adem-adem saja.
"Udah lama nggak nyambungnya. Disambung-sambungin malah jadi rudet," jawab Kemal. "Pacaran itu harusnya bikin nyaman, bawa kebahagiaan, apalagi kita masih pada muda. Kalau setiap ketemu berantem gara-gara dicemburuin terus, dituduh centil sama cewek terus, lama-lama jadi hambar rasanya. Padahal, selama ini ngerasanya sama Gina udah cocok, tapi ternyata belum secocok itu."
Tepat. Kata-kata Kemal terasa cocok menggambarkan permasalahannya dengan Ayu.
"Gina baik padahal, keliatan sayang banget ke maneh," gumam Kancil. Dia sempat bertemu beberapa kali dengan gadis yang juga berprofesi sebagai model itu. Menurutnya, Gina sangat cocok dengan Kemal.
"Emang dia baik," kata Kemal setuju. "Tapi, belum jodoh, gimana lagi?"
Kancil merespons dengan mengangguk. Wajar bagi siapapun gadis yang dipacari Kemal jika merasa terancam setiap saat. Karena, Kemal memang selalu dikelilingi gadis-gadis yang ingin jadi pacarnya.
Meski Kemal tidak tertarik pun, gadis-gadis itu seperti tidak kehilangan harapan. Mereka selalu bermimpi kelak Kemal akan menanggapi perasaan mereka.
Saat ini, Kancil bisa membayangkan kalau mantannya Kemal pasti tengah sangat bersedih dan menyesal. Melepaskan laki-laki seperti Kemal yang sangat sulit digapai bagi sebagian besar perempuan.
Sementara, di sisi lain, Kancil malah jadi membatin mengenai tingkah Ayu selama ini yang selalu saja cemburu pada gadis yang berteman dengan Kancil. Padahal Kancil kan hanya Kancil. Dia tidak setampan atau sesempurna Kemal yang patut dicemburui sepanjang waktu, juga tidak punya magnet seperti kekayaan untuk memudahkan orang lebih menyukainya.
Ayu tampaknya bukan tidak percaya pada Kancil, tapi lebih tidak percaya pada dirinya sendiri. Dan hal itulah yang membuat situasinya ibarat memakan buah simalakama.
"Ada rokok, Cil?" Kemal memecah lamunan Kancil.
Kancil memberikan bungkus rokok dari kantongnya ke Kemal. Kemal lalu mengambil satu dan menyalakan rokoknya.
"Aing juga putus sama si Ayu," Kancil jadi bilang juga. "Barusan."
"Naha?" Kemal yang kali ini bertanya.
"Ayu yang mau," jawab Kancil tapi sengaja tidak menjelaskan banyak.
"Bisa barengan gini," komentar Kemal ironis. "Cari angin ah, yuk, Cil?"
"Ke mana?" tanya Kancil.
"Belum tau, ikutin suasana aja."
"Sekarang?"
Kemal mengembuskan asap ke udara. "Kalem, ngerokok dulu, makan nasi rames dulu biar nggak masuk angin."
"Oke," kata Kancil, mereka lalu diam di sana hingga beberapa waktu. Ketika mereka masuk ke dalam tempat Tante, anak-anak di sana sudah stand by menyambut, Ibuy sudah mantap memegang gitar.
"Mengheningkan cipta!" seru Sandi. "Buy."
"Ah, euy," decak Kemal tapi sambil tertawa.
Ibuy langsung mulai memetik senar dengan lihainya, karena sudah sering memainkan lagu itu untuk anak-anak yang putus cinta.
Kemal dan Kancil terpaksa ikutan menyanyi juga karena suasananya mendukung untuk itu.
Om Warmes tahu-tahu nongol ketika lagu selesai. "Om doain, semoga Kemal sama Kancil nemuin jodoh yang langgeng! Biar lagu Merry Andani ini nggak sering-sering dinyanyiin, lah, bosen tau."
"Amin, Om," sahut Kemal.
Ketika kancil sudah duduk, dia bertanya pada Maman, anak-anak tahu dari mana dia dan Ayu sudah putus.