Sore itu, hujan turun lumayan besar dan galak. Bunyinya di atas genting tempat Tante terdengar seperti ada benda-benda keras yang dijatuhkan.
"Tiarap! Ada tentara Jepang!" suruh Maman tiba-tiba pada anak-anak SMP yang sedang makan di sana.
Semuanya bengong. Lalu pada saling lempar pandang dan tertawa karena canggung.
"Ah, nggak seru kalian, mah!" dumel Maman kecewa. "Kalau sama si Ibuy mah dulu sampai dia ngumpet ke kolong meja!"
Kancil duduk di sebelah simpatisan yang bernama Ian. "Gimana sukses?" tanyanya. Ian pernah cerita pada Kancil kalau dia sedang mendekati seorang perempuan di sekolahnya. Kancil memberikan saran-saran pada Ian untuk mendekati gadis itu. Kata Ian, perkembangannya lumayan bagus. Gadis itu sudah lebih merespons perhatian-perhatiannya. Tapi, Ian belum yakin gadis itu juga menyukainya.
"Dia cantik," Ian menambahkan, "maka dari itu dia judes. Apalagi kalau lagi sama temen-temennya, lebih judes."
Kancil mendengkus. "Nggak ada hubungannya kali cantik sama judes. Cantik itu bawaan lahir, judes itu bawaan temen. Kalau temen-temennya judes, dia jadi ikutan judes. Biar kompak, dong!"
Ian ketawa. "Tapi, kalau dia nggak mau sama saya, saya sih ada cadangan."
"Gawat," kekeh Kancil. "Bahaya ternyata kamu."
"Belajar dari Suhu Kancil," jawab Ian.
"Saya nggak pernah ngajarin," tepis Kancil. "Cuma ngasih nasihat."
"Nasihatnya bagus," timpal anak itu sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Katanya, di sekolah kamu banyak yang cantik," Kancil meneruskan.
Dia ngangguk. "Lima puluh persen cantik banget, sisanya cantik aja," jawabnya. "Sandru suka main ke sana. Ke Warung Pengkol. Pas ngeliat dia, anak-anak ngomongin, tau siapa dia. Kalian terkenal di kalangan anak-anak."
Kancil cuma nyengir. "Eh, Warung Pengkol itu warung yang di belokan, ya?"
"Iya. Rame di sana, tempat ngumpulnya alumni juga."
"Pernah main ke sana, tapi sepi, jadi belum ke sana lagi," ujar Kancil sambil membuka kemasan Choki-Choki kemudian mulai ngemil.
"Nanti kalau ke sana kabarin, Cil," ujarnya. "Biar ditemenin."
Kancil ngangguk, menepuk pundak Ian sebelum bangun. "Kalem. Itu ada ibunya si Poek," ia memberitahu, lalu menghampiri wanita berjilbab salem yang seperti kebingungan di dekat pintu masuk warung Tante. "Ibu, ibunya Poek, kan?" Kancil menyapa, kemudian salam kepada wanita tersebut.
"Ini ... Kancil, ya?" sahut wanita itu mengenali.
Kancil mengangguk. "Nyari Poek, Bu?"
Wanita berkulit sawo matang dan bermata besar itu terlihat gelisah. "Andri—Poek udah nggak pulang seminggu lebih, Kancil, jadi Ibu bingung ... Mana nggak ngabarin."
Sebelum mendengarkan lebih lanjut, Kancil pun mempersilakan ibunya Poek duduk di dalam, tapi karena sungkan wanita itu bilang duduknya di luar saja, di bangku dari semen yang suka digunakan anak-anak untuk merokok sambil main gitar. Kancil duduk di sebelahnya, tetapi ada jarak sekitar lima puluh sentian.
Ibu Poek meneruskan, "Poek teh kan belum punya HP, jadi Ibu bingung ngehubungin ke mana. Kata Komar, dia ngumpulnya suka di sini."
Komar adalah teman ayahnya Poek. Mereka berdua adalah tukang parkir di daerah Alun-Alun. Komar pernah ke Warmes sekali dibawa Poek, untuk ngurut si Ibuy yang kakinya keseleo waktu jatuh dari motor.