Bandung, April 2003 ....
Kancil benar-benar sudah tidak ingin terlibat dalam kekacauan antara Ian, Jihan dan Hanna. Tapi siang itu, entah mengapa, ketika Ian menghampirinya dan minta tolong supaya Kancil mau menemaninya bertemu dengan selingkuhannya di toko buku yang ada di Jalan Buah Batu, Kancil akhirnya mau mengantar.
Mungkin, karena kata Ian, dia tidak tahu harus minta antar siapa, dan karena dia perlu saksi. Dia perlu orang yang mau membantu meyakinkan kepada Hanna, bahwa selama ini dia tidak pernah merokok di Warmes.
Ian memang jujur soal itu. Selama ini, Kancil belum pernah melihatnya merokok di mana pun. Jadi untuk alasan itu juga, Kancil mau menjadi saksi, karena kali ini tidak menyangkut soal kebohongan. Kali ini dia berkata jujur.
Mereka pun naik motor Ibuy ke sana. Sesampainya di sana, Kancil memilih duduk di atas motor sambil makan Choki-Choki, sementara Ian menemui Hanna di depan pintu masuk toko.
Kancil tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan. Ia hanya asyik memerhatikan kendaraan-kendaraan yang lewat sembari menikmati cokelat pasta kesukaannya.
Lalu, tidak tahu mulanya dari mana, Jihan tiba-tiba muncul di sana! Tanpa keraguan sedikit pun, menghampiri Ian, dan berkata kalau dia mau putus. Sesederhana itu. Ia tidak tampak marah, tidak memaki, tidak juga mau mendengar penjelasan. Hanya bilang, mau putus. Titik.
Adegan selanjutnya, tidak masuk dalam daftar kejadian yang patut direkam oleh memori Kancil. Tapi, sebelum Jihan naik angkot, Kancil ingat jelas bahwa gadis itu sempat melihat ke arahnya. Memandangnya, dengan sorot yang menyiratkan... rasa jijik ... merendahkan ... menghina ....
Kalau tatapan itu bisa dirangkai jadi kalimat, mungkin akan jadi kalimat seperti: Oh, jadi kamu ya orang brengsek yang ikut terlibat ke dalam perselingkuhan bejat ini ... dasar lelaki durjana, sialan, pendosa! Semoga kamu juga kena karmanya ....
Itulah, untuk pertama kalinya, Kancil merasa bahwa dirinya begitu rendah di mata seseorang. Tapi, tidak ada dorongan dari dirinya untuk protes atau membela diri. Dia hanya mendapati dirinya menerima semua itu dengan pasrah.
Tatapan nyalang dari gadis itu betul-betul diterima Kancil dengan keikhlasan yang belum pernah dirasakannya.
* * *
Saat itu pukul sebelas malam. Di dalam kamar kosnya, Kancil mendadak teringat kejadian kemarin sore, saat tiba-tiba saja Jihan muncul di toko buku itu; caranya menyelesaikan masalah dengan cara sesederhana itu, sesimpel itu, seolah-olah dia begitu yakin bisa melaluinya dengan baik ....
Gadis itu mengesankan ... tapi juga aneh, pikir Kancil, terlalu berani.
Dia seperti sampul buku yang depan dan belakangnya berbeda. Karena, tadi sore, dari wartel Mang Edo, Kancil melihat kalau gadis itu tampak begitu riang bersama teman-temannya. Tertawa, bergerak aktif, memberikan kesan begitu terjangkau. Ia seperti tulus mengekspresikan emosinya tersebut. Dengan kata lain, tidak terlihat terganggu atau murung dengan kandasnya hubungannya dengan Ian kemarin. Seolah, dia adalah nelayan yang berhasil melewati badai dan kembali ke pantai dengan selamat bersama tumpukan ikan. Baginya, pengkhianatan Ian cuma badai sesaat, dan setelah ia berhasil melaluinya, dia bisa menikmati hidupnya lagi.
Atau, memang, selain berani, dia tipe yang pandai menutupi kesedihan?
Seperti bulan.
Lihat saja, kalau awan mendung, bulan cuma seperti bayang-bayang ... kalau malam hari turun hujan, sebenarnya bulan juga ikut menangis. Tapi karena air matanya juga jatuh ke bumi, penduduk bumi mengira itu semua milik awan mendung ....
Kancil akhirnya menyerah memikirkan gadis itu. Dia kemudian meraih Walkman-nya, memutarnya dan mulai tertidur.
* * *
Kancil tahu, bahwa gadis itu menyalahkan serta dirinya atas pengkhianatan Ian kepadanya. Tepatnya, Kancil tahu gadis bernama Jihan itu juga membencinya. Entah sebesar apa rasa benci itu, tapi dia tahu akan sulit mengubahnya.
Itu sebetulnya tidak akan jadi masalah andaikan Kancil tidak menganggap hal tersebut penting. Banyak perempuan lain yang kecewa padanya selama ini. Entah itu karena Kancil pernah mengabaikan, memberi harapan, dan lain sebagainya. Tapi, yang ini beda. Rasanya seperti dititipkan kotak yang konon katanya barang penting, tapi setelah dibuka isinya kosong. Dia ingin membuangnya, tapi tidak tega. Ada suatu keterikatan yang sulit dilukiskan.
Belakangan, Kancil pun semakin sering nongkrong di Warung Pengkol atau wartel yang dijaga Mang Edo. Tujuannya, ia sendiri tidak tahu. Dia hanya merasa lega jika sudah memastikan gadis itu baik-baik saja. Masih bernapas dan masih bisa bereaksi galak kalau Kancil menyapanya.
"Nanti lagi kalau haus bilang aja. Nanti minumannya dianter ke aula," tawar Kancil ketika Jihan, yang sedang menenggak minuman dari Warung Pengkol, melewatinya.
"Nggak usah," tepis gadis itu. "Emangnya kamu tukang air!"