Maman kena demam berdarah, jadi semua anak menengok ke rumah sakit. Melihat Maman tidak berdaya begitu, anak-anak merasa aneh dan heran. Aneh karena ternyata ada nyamuk yang mau menggigit Maman, dan heran karena bukan nyamuknya yang masuk rumah sakit, malah Maman.
Mendengar guyonan itu, dengan lirih Maman menyuruh semua anak-anak pulang.
"Doain harusnya kalian teh bukannya ngeledek," dumelnya pura-pura sedih. "Bisi ini teh terakhir kalinya kalian ngeliat aing."
Karena dibilang begitu, anak-anak pun kompak membacakan Maman doa supaya cepat sembuh. Meskipun mereka tahu Maman cuma bercanda, tapi kalau disangkut-pautkan dengan kematian, mereka jadi seram juga.
Setelah menengok Maman, anak-anak memutuskan untuk cari angin di sekitaran Jalan Dago, karena Maman dirawatnya memang di rumah sakit di daerah itu.
Ketika sedang melewati Jalan Siliwangi, tiba-tiba ada delapan motor menyusul mereka sambil berkata-kata kasar. Kata Ibuy anak-anak itu adalah anggota dari gengnya si Ucup. Mungkin saat itu mereka juga habis cari angin di daerah tersebut. Karena Jalan Dago memang tempatnya anak muda Bandung untuk cari angin dan nongkrong.
Sebelum mengambil tindakan, anak-anak menunggu perintah dari Sandru untuk bergerak. Barulah, setelah Sandru mengangguk, mereka pun kompak mengejar motor-motor barusan.
Kancil saat itu memboncengi Caesar, jadi dia harus di depan, karena posisi Caesar jika dalam keadaan seperti itu haruslah memimpin. Di belakang mereka ada Sandru dengan Ibuy, Cungkring mengemudi sendirian, Dimas juga sendirian, lalu di paling belakang ada Giant berboncengan dengan Ido.
Karena berboncengan dengan Giant yang badannya besar seperti pesumo, Ido yang mungil dan kurus kering pun duduknya cuma setengah pantat. Dan saat ia mencoba memeluk pinggang si Giant yang mahalebar, kedua tangannya tidak bisa bertemu dan bertaut. Itu sungguh pemandangan yang mengkhawatirkan sekaligus lucu untuk dilihat.
"Do, maneh pindah dulu jeung si Cungkring, bisi labuh maneh disepak bujur si Giant," ujar Ibuy. Dia menyarankan begitu karena dia khawatir Ido terjatuh saat melakukan pengejaran tersebut.
Tapi Ido malah menggeleng tidak mau. "Embung, ah, haneut." Dia lalu kembalu mencoba memeluk pinggang Giant kuat-kuat. (Nggak mau, ah, anget).
Ibuy ketawa. Tapi, sebetulnya Ido ada benarnya juga, karena udara pada malam itu sangat dingin, memang lebih baik memeluk si Giant yang besar, gemuk dan empuk. Lumayan, jadi bisa menerima panas secara cuma-cuma, barangkali rasanya jadi seperti memeluk kasur yang baru dijemur di bawah sinar matahari.
Geng Ucup sekarang ada di depan mereka, tampak sangat liar dan sok melajukan kendaraan mereka. Mereka berkelok-kelok, mengebut dan ugal-ugalan di jalan raya seolah-olah mereka tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri apalagi pengendara lain. Kancil pikir mereka juga sambil mabuk, entah itu oleh narkoba atau minuman keras. Efek zat-zat seperti itu memang membuat adrenalin bertindak jadi kurang masuk akal.
Pengejaran tersebut berlangsung sekitar lima belas menit. Mereka akhirnya bisa disusul setelah mereka memutar jalan kembali ke daerah Taman Sari.
Dan di sanalah, akhirnya tawuran pecah pada malam itu dengan geng Ucup. Di Taman Sari yang rimbun, yang sepi dan dingin.
Ketika pada akhirnya turun hujan rintik-rintik setelah perkelahian itu, Kancil anggap itu sebagai hadiah dari langit karena mereka berhasil memenangkan pertarungan nasib baik pada malam itu.
"Do, nggak apa-apa?" tanya Kancil pada Ido yang pelipisnya mengaliri darah karena tadi ia terlihat kena pukul lawan beberapa kali.
Ido melengkungkan jari telunjuk dan jempolnya untuk membuat tanda "oke", tapi yang keluar dari mulutnya malah sebaliknya, "Aku hampir die, Cil, yang mukul tadi pake batu."
"Die-nya nanti aja kalau udah kaya," kekeh Kancil sambil menepuk pundak juniornya itu dengan gaya menghibur. "Buy, coba liatin juga luka si Ido perlu dijahit, nggak?" panggil Kancil ke Ibuy yang sedang memeriksa bagian belakang kepala Cungkring yang juga cedera.
Ibuy menghampiri Ido, memerhatikan wajahnya. "Ah, teu kudu ieu mah. Nanti juga nutup sendiri."
"Tapi rasanya bener-bener kaya mau die, Cil," Ido kembali meyakinkan Kancil.
"Sini atuh, mau dipeluk?" Kancil menawarkan diri sambil melebarkan tangannya. Kancil tahu, Ido masih berumur lima belas tahun, dan malam itu sepertinya adalah pertama kalinya ia mengalami pertarungan jarak dekat yang menyebabkan dirinya terluka.
Si mungil Ido akhirnya nyengir. Raut khawatir dari wajahnya mulai sirna. "Dipeluknya sama Giant aja. Enak, empuk."
* * *
Pada hari Jumat, satu minggu setelah kejadian dengan gengnya Ucup di Taman Sari, saat itu Kancil sedang duduk di wartel Mang Edo. Dia sedang cerita kepada laki-laki itu mengenai peristiwa di hari itu, ketika dia melihat Jihan lewat bersama teman-temannya. Kancil berusaha menyapanya, tapi seperti biasa, dia diabaikan.
"Jihan," panggil Kancil.
Dia tidak menoleh.