Pada suatu hari, Ibuy sebagai alumni di sekolah yang berada dekat dengan Warung Pengkol, mengajak beberapa anak untuk turut datang ke pergelaran seni di sekolah tersebut. Jelas, untuk itu, Kancil tidak mau ketinggalan. Dia langsung mau ikut, bahkan sampai cukur dulu rambut segala, merapikan bagian yang terlalu panjang, memangkas juga sedikit bagian belakang rambutnya supaya tengkuknya terlihat gagah. Kata dia, itu untuk balas dendam. Karena gadis itu juga memotong rambutnya. Tapi, Kancil tidak bisa meluruskan rambutnya, karena rambutnya memang sudah lurus dari sananya.
"Cil, ceuk barudak maneh bogoh ku nu ngarana Jihan, nya?" tanya Ibuy pada hari itu. (Cil, kata anak-anak kamu suka sama yang namanya Jihan, ya?).
"He-he. Iya," jawab Kancil sambil memandang bayangannya di kaca. Puas akan hasil potongan rambutnya yang lebih rapi. "Tapi dianya nggak mau."
"Kenapa gitu?"
Kancil mengangkat bahu. "Makanya, ini mau ke sekolahnya. Mau ditanyain," ujarnya.
"Urang dukung," ujar Ibuy sambil tertawa. "Maneh ditolak."
"Anjing!"
Kancil dan teman-temannya pun datang ke pergelaran seni tersebut. Menonton Jihan dan timnya menampilkan kebolehannya di atas panggung dengan menari modern. Kancil sengaja berdiri paling depan di sana, walaupun dia harus berdiri dekat dengan kursi kepala sekolah dan disuruh sekali oleh kepala sekolah itu untuk memanggilkan guru yang bernama Bu Isma.
Sekali, Jihan melirik ke arahnya, Kancil senyum kemudian dia bilang tanpa suara, "Bismillah dulu."
Tentu saja, gadis itu langsung memalingkan wajah, berupaya tidak lagi melihat ke arahnya. Mungkin Kancil merusak konsentrasinya. Atau mungkin, dia memang masih membenci ....
Sore harinya, usai acara, Kancil sengaja menunggu Jihan keluar dari sekolahnya. Tapi sejam menunggu, Jihan tetap tidak kelihatan. Ia pun memutuskan untuk pergi dulu sebentar ke tempat makan yang ada di jalan besar. Ketika ia akan menyeberang, ia melihat Jihan sendirian sedang menunggu angkot.
Kancil segera menyapa gadis itu, memuji penampilannya tadi di atas panggung. Setelah dia berdiri di depannya, barulah Kancil sadar bahwa wajah gadis itu terlihat pucat dan lesu.
"Kamu sakit? Muka kamu pucet," tanya Kancil dengan tulus.
"Cuma pusing," jawab Jihan tidak memandang wajah lawan bicaranya.
Kancil kemudian menawarkan untuk mengantar gadis itu pulang. Ia khawatir, jika di jalan kondisi gadis itu malah semakin drop.
Tapi dengan ketus Jihan langsung menolak.
Begitu pula saat Kancil menawarkan untuk membelikan obat dan makanan. Yang ada, gadis itu malah minta supaya Kancil berhenti mengganggunya.
"Ini mau pergi, tapi takut kamu pingsan. Muka kamu keliatan banget sakitnya," ujar Kancil.
Gadis itu menatap Kancil tajam. Dia bilang Kancil-lah yang mengganggunya dan membuat keadaannya bertambah parah.
"Saya ngeganggu kamu banget, ya?" Kancil bertanya. Gadis itu diam. Jadi Kancil meneruskan, "Kamu kayanya benci banget sama saya. Kenapa?"
Gadis itu pun akhirnya membuka mulut, "Emang! Soalnya kamu yang bikin Ian jadi playboy, bawa-bawa dia. Kamu yang ngajarin dia, kan?"
Kancil mengerutkan alis. "Ngajarin dia? Ngapain?"
Gadis itu mencibir. "Ah, udahlah."
Kancil lalu menjelaskan padanya, bahwa, laki-laki benar itu tidak akan mudah dipengaruhi jadi playboy dan sebangsanya. Laki-laki seharusnya punya pendirian yang teguh.
Tapi, Jihan terus-terusan menekan Kancil dan menyalahkan Kancil atas semua pengkhianatan yang dilakukan Ian padanya.