Hai, Kancil!

andra fedya
Chapter #25

24. MAUNYA LEBIH DARI TEMAN

Setelah perkenalan ulang hari itu, semuanya terasa seratus delapan puluh derajat berbeda. Jihan bukan lagi gadis sombong yang judes kalau disapa. Dia ternyata tipe yang sangat ramah, bahkan sering menyapa Kancil duluan kalau mereka berpapasan di wartel yang dijaga Mang Edo, atau di Warung Pengkol.

Jihan bahkan pernah bilang, bahwa ia sebenarnya agak menyesal karena pernah menyalahkan Kancil atas semua pengkhianatan yang dilakukan Ian padanya. Seolah-olah Jihan memang mencari kambing hitam untuk masalah itu. Padahal, jelas Ian-lah yang dengan sadar, sengaja dan penuh rencana membohongi, mengkhianati dan mempermainkan Jihan dengan telak.

Kancil lalu bilang padanya, bahwa ia memang terlibat ke dalam keruwetan hubungan mereka saat itu, tetapi ia tidak pernah memengaruhi Ian dalam setiap keputusannya. Anak itu mutlak mengambil semua putusannya sendiri.

Kancil senang dengan situasinya belakangan ini yang tampaknya sudah dianggap teman oleh Jihan. Dia tidak lagi canggung untuk mengajak gadis itu mengobrol atau tos kalau ada hal yang nyatanya mereka sepakati.

Ulang tahun Jihan pun ternyata juga jatuh di Bulan Februari, dan secara kebetulan hanya berbeda satu hari dengan Kancil.

"Sama-sama Aquarius, dong!" komentar Kancil mendapati fakta itu.

"Iya, sama-sama tukang galon," jawab Jihan sambil nyengir.

Selain nyambung kalau diajak ngobrol mengenai apa saja, Jihan, juga orangnya senang sekali menanyakan banyak hal. Dia tidak suka duduk dengan jeda kebisuan yang panjang. Juga sangat suka memerhatikan setiap detail kecil. Termasuk sedikit saja lebam di wajah Kancil atau luka di pelipisnya yang belum kering.

Tentu saja Kancil tidak perlu menjelaskan secara detail bagaimana ia mendapatkan luka-luka itu. Tidak perlu ia bilang kalau kemarin Pak Bambang datang ke Bandung dan mereka terlibat cekcok sehingga bogem mentah Pak Bambang harus mendarat dan membuat lebam samar di hidung Kancil. Atau ketika beberapa hari lalu Kancil terlibat perkelahian dengan geng lain di daerah Lengkong Besar.

"Ditabrak pohon," kata Kancil sambil menunjuk hidungnya yang lebam. "Pohonnya emang kurang ajar! Lain kali nanti pasti disambar petir."

"Bukan pohonnya yang nabrak kali, kamunya yang nggak hati-hati terus nabrak pohonnya," kekeh Jihan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Semakin lama Kancil mengenalnya, Kancil semakin tahu juga, bahwa Jihan itu bukan tipe perempuan yang senang menjaga imej sehingga dia berpura-pura jadi orang lain. Jihan itu gadis yang sederhana, senang mendengarkan cerita lucu, dan senang bilang "Ooooo ...." yang panjang kalau dia bingung harus berkomentar apa.

* * *

Ketika Jihan datang ke Warmes untuk pertama kalinya karena diajak Sari (ini adalah kejutan besar!), Kancil agak khawatir Jihan akan kesulitan berbaur dengan teman-temannya. Maklumlah, terkadang ada saja anak-anak yang sikapnya tidak sesuai meski maksudnya mungkin tidak begitu. Tapi, ternyata, Jihan tidak menilai mereka buruk. Malah, sebaliknya, dia tampak nyaman dan senang berada di sekeliling teman-teman Kancil. Termasuk dengan Maman.

Karena Maman bercandanya suka berlebihan, Kancil tadinya tidak akan kaget kalau Jihan menganggap kawannya yang satu itu aneh atau tidak sopan. Seperti yang pernah dibilang Ayu, Seruni dan yang lainnya. Begitulah, biasanya, perempuan yang dikenalkan kepada Maman, mereka akan merasa risih. Tapi, ternyata Jihan tidak begitu. Dia bilang, di antara semua teman Kancil, dia paling suka pada Maman! Karena, meski Maman suka bercanda, menurutnya Maman itu orangnya tulus.

Waaah, batin Kancil takjub. Saat itulah, Kancil langsung tahu bahwa Jihan adalah orangnya. Orang yang tepat untuk ia pinang jadi pacar, karena gadis itu bisa merasakan ketulusan dari seorang Maman, seperti dirinya.

Tapi, ia pun tak ingin memaksakan perasaannya itu harus segera berbalas. Biar saja semuanya berjalan mengalun tenang seperti air di sungai, yang penting air itu arusnya lancar, bukan seperti sungai kotor yang alirannya tersendat karena banyak sampah.

Dan kalau pada akhirnya Jihan nyatanya hanya menganggap Kancil sebagai teman, tak lebih, Kancil pun sepertinya akan bisa menerimanya. Toh, ia masih bisa menjadi teman dekatnya, yang kemudian jadi punya waktu lebih banyak untuk mengeluarkan sisi terbaiknya. Lagian, kembali lagi: tidak ada situasi yang permanen dalam hidup. Batu bisa cekung karena air, hati manusia bisa berubah seiring waktu.

* * *

Banyak hal yang kemudian Kancil tahu lagi mengenai seorang Jihan. Bahwa, dia menghargai setiap hal yang diusahakan untuknya. Dia bisa makan dengan cepat dan sambil menulis. Pelajaran kesukaannya adalah Bahasa Indonesia dan Kimia. Kalau dia sedang dapat ide, dia akan buru-buru mencari pulpen dan kertas kemudian ia tulisi dengan kata-kata puitis. Dia juga sangat suka baca buku, baik itu komik Miiko atau novel serius yang halamannya setebal batu bata.

Jihan, punya banyak bulu di tangannya, yang kadang suka Kancil acak-acak supaya tidak beraturan. Tapi dengan seusap saja, bulu-bulu itu bisa rapi kembali. Jihan punya wangi khas pada rambutnya, yang kalau dia bergerak, wangi itu seperti menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Ketika orang nanya dia pakai sampo apa, dan dijawabnya, semua orang langsung tidak percaya. Karena sampo yang dia pakai itu terkenal sebagai sampo paling murah meriah.

Jihan juga tidak masalah dengan becek, atau rambutnya yang jadi basah karena kehujanan—dia malah suka hujan karena katanya bintangnya Aquarius, dia malu kalau sedikit-sedikit takut air.

"Aquarius sejati itu emang diciptakan untuk jadi utusan hujan. Dari dulu aturannya udah gitu," tambah Jihan ketika Kancil tanya kenapa dia suka menembus gerimis, senang hujan-hujanan sampai baju dan kaos kakinya bisa diperas.

"Kita, dong!"

Jihan mengangguk. "Lagian," tambahnya sembari melirik Kancil. "Hujan juga adalah waktu yang tepat untuk berdoa. Aku suka minta ini-itu ke Tuhan saat lagi hujan."

* * *

Jihan, tidak suka kalau ada yang mencap dirinya sebagai perempuan manja. Karena dia memang tidak begitu. Baginya, tidak masalah duduk di pinggir jalan sampai bagian belakang pakaiannya kotor berdebu sekalipun, naik motor atau naik angkot, dibayari atau membayari, dijemput atau ketemuan. Dia tidak pernah mempermasalahkan hal-hal remeh.

Karena sikapnya begitu bersahabat, asyik dan tidak manja, anak-anak yang lain pun jadi cepat dekat dengannya (belakangan, Jihan memang cukup sering datang ke Warmes bersama Sari). Bahkan Caesar yang orangnya agak kaku, tampak nyaman-nyaman saja, duduk berdua semeja dengan Jihan yang waktu itu sedang membuat origami dengan kertas lipat. Ketika Caesar tanya untuk apa, Jihan jawab, itu untuk anak-anak. Untuk kenang-kenangan.

"Emang, kamu mau ke mana gitu ngasih kenang-kenangan segala?" Caesar bertanya.

"Ke warung," jawab Jihan sambil ketawa.

"Ke warung aja harus ngasih kenang-kenangan?"

"Bisa jadi Jihan nggak balik lagi," jawab Jihan sambil serius melipat kertas. "Sedih, kan kalau gitu? Semua manusia juga maunya kalau pergi itu selalu dikenang."

Kancil tahu itu diceritakan oleh Caesar sendiri. Saat itu, Kancil memang sedang ada urusan, jadi Jihan ditemani anak-anak dulu. Ujung-ujungnya, origami itu tidak jadi Jihan berikan kepada anak-anak, karena katanya, dia tidak jadi ke warungnya, keburu males.

"Jihan itu anaknya ajaib, Cil," simpul Caesar setelah ia menyelesaikan ceritanya.

Kancil mengangguk sepakat. Adakalanya, Jihan memang bertingkah unik dan di luar kebiasaan orang lain. Atau, dengan kata lain, dia sangat intuitif, percaya diri dan sangat mengandalkan nalurinya.

Lihat selengkapnya