Bandung, Agustus 2003 ....
Di Warmes, Sandru, Maman, Giant dan Ibuy sedang duduk berempat, saat Kancil dan Jihan datang siang itu. Hari itu hari Minggu, dan memang Jihan yang minta ke Kancil untuk menjemputnya dan membawanya ke Warmes.
"Nih, ada lengkeng," Kancil menyapa anak-anak sekaligus meletakkan seplastik buah lengkeng ke meja mereka. Barusan, ia dan Jihan beli di jalan menuju ke Warmes.
Maman langsung membuka plastiknya dan mengambil sejumput buah.
Setelah Kancil mengembalikan kunci motor Giant ke Giant, dia ikut duduk di sebelah Jihan yang sudah mengambil tempat di sebelah Maman.
"Ke kamar mandi dulu, ya, hareudang," baru sebentar duduk, Kancil pamitan kepada Jihan untuk mencuci muka. Karena memang, udara sedang agak panas ditambah suasana hati Kancil yang juga panas sejak tadi.
Ketika Kancil keluar dari kamar mandi, Maman sudah menunggunya di depan pintu.
"Kenapa, Cil?" tanya Maman sambil membuka buah lengkeng dan memasukannya ke mulut.
Kancil otomatis menghela napas sambil mengelap mukanya yang basah dengan bagian bawah lengan jaketnya. "Keliatan gitu?" Maksudnya adalah, kelihatan gitu bahwa dia sedang kesal?
Maman mengangguk. "Marahan sama si Jihan?"
Kancil menggeleng. "Jihan mana?"
"Itu, barusan ada Didi. Jadi mereka ngobrol di luar."
"Oh," gumam Kancil.
"Kalian lagi berantem?" tanya Maman lagi.
"Enggak," jawab Kancil. "Cuma ini lagi panas aja."
Maman nampak menunggu Kancil meneruskan.
"Si Jihan," Kancil memulai. "Ngangkat telepon dari mantannya."
"Saha?"
"Nando, namanya, nggak tau anak mana, tapi rumahnya nggak jauh dari rumah Jihan," ujar Kancil dengan nada datar. "Pacar pertamanya apa gimana, lah."
"Terus?"
"Iya, tadi pas ke rumahnya kan urang nunggu di luar. Pas mau pergi, ada yang nelepon ke HP-nya. Si Jihan ngangkat, dari si Nando itu," ujar Kancil dengan serius. "Bukan karena jadi bikin urang cemburu, tapi orangnya ikut campur. Masa, bilang ke si Jihan suruh jangan pacaran sama uranglah. Katanya, urang gengster—"
"Emang gengster, kan?" potong Maman sembari senyum.
Kancil jadi tertawa sedikit. "Tapi orang itu berusaha mempengaruhi Jihan. Kaya tau urang aja. Kenal juga enggak. Dia bilang ke Jihan, urang orang nggak bener. Bahaya buat Jihan."
"Bahaya? Kaluman!" (Keterlaluan!).
"Makanya," kata Kancil.