Bandung, Oktober 2003 ....
Hari itu, Kancil tahu akan turun hujan besar. Banyak capung berterbangan di sekitar Warmes. Kancil percaya itu pertanda bahwa hujan yang sangat besar akan segera turun. Karena lusa yang lalu, juga persis seperti itu.
Saat itu, ketika Kancil sedang main bola bersama teman-temannya, banyak binatang kecil yang beterbangan dengan bergerombol. Kata Ibuy, binatang-binatang itu mendengar suara Dajjal, makanya mereka panik.
"Makanya, maneh jangan ngomong wae, Man," kata Ibuy. "Jadi capung pada takut. Maneh Dajjal-na."
"Jangan sompral, Buy," sergah Maman sambil termenung. "Tau apa kamu soal Dajjal?"
"Emang maneh tau?"
Pelan-pelan, wajah Maman memandang ke angkasa. Sore itu, meski jam masih menunjukkan pukul setengah empat, langit sudah berubah jadi kelabu. Pokoknya, itu petang yang gelap dan suram.
"Kalau Dajjal dateng, itu artinya kiamat, kan?" tanya Maman pada anak-anak. "Punya bekel apa kita sampai berani ngomongin kiamat?"
Anak-anak langsung terdiam. Kalau Maman sedang membicarakan topik serius, situasinya memang suka jadi tidak asyik, karena dia tugasnya kan menceriakan suasana, bukannya menasihati.
Tapi untunglah, saat itu ada Cungkring yang nyeletuk, "Kebelet boker, euy, gara-gara dahar combro opat mayarna hiji," katanya. (Kebelet buang air besar, nih, gara-gara makan combro empat tapi bayarnya cuma satu). Combro itu sendiri adalah gorengan yang dibuat dari parutan singkong dengan isian oncom pedas, makanya namanya combro atau oncom di jero (dalam).
Semua orang langsung tertawa mendengar celetukan itu. Jadilah, situasi serius itu kembali ceria.
Di Warmes, saat Kancil tengah bersiap untuk berangkat ke rumah Jihan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ibunya yang menelepon.
"Iya, Bu," Kancil menyapa lawan bicaranya.
Terdengar suara bergemerisik disusul suara helaan napas dan tarikan ingus yang berat. "Ram, Rama di mana?"
Hati Kancil bergelenyar tidak enak. Ibunya meneleponnya dalam keadaan menangis. Pasti sesuatu yang genting telah terjadi.
"Ibu kenapa?" tanya Kancil sambil bergegas keluar, mencari tempat sepi untuk bicara.
"Nggak ... Ibu, Ibu sekarang lagi di Bandung," jawab ibunya tak menjelaskan pertanyaan Kancil.
"Ibu kenapa?" Kancil bertanya lebih tegas.
"Kamu pulang ke rumah bisa?"
"Ibu sekarang ada di rumah?" Rumah keluarga Kancil memang sudah dipasangi plang dijual selama beberapa waktu, tapi karena Pak Bambang mematok harga terlalu tinggi untuk bangunan tersebut, hingga kini rumah tersebut belum juga laku.
"Iya, Ibu nggak ngerti lagi harus ngomong ke siapa. Barusan Ibu juga abis dari rumah temen Ibu, cerita banyak sama Mawardi, terus Ibu ke sini. Ibu pengen ketemu Rama."
"Ibu ke Bandung nggak sama Pak Bambang?" Kancil terdengar kaget mendengar fakta itu. Selama ini papa tirinya tersebut jarang membiarkan istrinya pergi-pergi tanpa dirinya, apalagi sampai ke luar kota. Dia selalu mengekangnya.
"Pak Bambang di Jakarta," ujar ibu Kancil singkat. "Rama ke sini ya sekarang, Ibu tunggu."
Kancil terdiam sejenak. Sudah pasti ibunya dan Pak Bambang sedang cekcok, dan masalah tersebut sepertinya sangat besar sampai-sampai ibunya nekat berangkat dari Jakarta ke Bandung seorang diri. Hal seperti itu belum pernah terjadi.
"Iya, Bu, Rama ke sana sekarang," ujar Kancil sebelum mematikan telepon dan berangkat menggunakan motor Ibuy. Tak lupa, ia mengabari Jihan untuk membatalkan rencananya berkunjung hari itu.
* * *
Ketika Kancil datang, ibunya sedang duduk di salah satu kursi teras. Kursi besi bercat putih itu tampak berdebu dan kotor terciprat genangan lumpur dari tanah ketika hujan turun. Karena rumah tersebut tidak ada yang menunggui, jadi jelas, tak ada juga orang yang bertanggung jawab membersihkan perabot, lantai teras dan tamannya juga.
Kancil langsung mencium tangan ibunya, dan ibu Kancil balas mengecup masing-masing pipi Kancil.
"Kok, di luar? Ibu nggak bawa kunci rumah?" tanya Kancil.
"Enggak. Kuncinya ada sama Pak Bambang," jawab ibu Kancil. "Kamu sehat? Naik motor siapa ke sini?"
Kancil menggeleng. "Ada masalah apa lagi Ibu sama Pak Bambang?" tembaknya langsung.
Ibu Kancil lalu mulai bercerita permasalahannya dengan suaminya. Bahwa kemarin Pak Bambang kembali main tangan dengannya ketika mereka berdebat soal rumah tangga. Persoalan mereka tak begitu penting dan besar pada awalnya, tapi Pak Bambang memang tipe orang yang suka menyulut masalah sehingga segalanya jadi kacau serta merembet ke banyak hal.
Ibu Kancil mengaku jika dirinya ditampar dan kepalanya dibenturkan ke dinding, kemudian setelahnya, Pak Bambang pergi entah ke mana dan tak pulang. Pagi-pagi buta, ibu Kancil memutuskan untuk pergi ke Bandung menggunakan bus karena ia sudah merasa sangat lelah.
Kancil bisa merasakan rahangnya mengeras dan giginya membatu. Dia benci Pak Bambang. Sangat membencinya. Kalau sudah tidak menyayangi ibunya, kenapa pria itu tidak melepasnya? Dan ibunya, jika sudah terjadi hal yang sama berulang-ulang kali, mengapa masih terus memaafkan dan bertahan pada laki-laki kejam itu?
Karena uang? Karena rumah besar? Karena bisa pakai baju bagus dan perhiasan mewah terus?
Percuma tubuh kita dilapisi emas jika hidup terancam bagai ditodong pistol dengan kokang berpeluru seumur hidup. Diam disiksa, berkata-kata binasa.
Menangis histeris tanpa suara, menyuap nasi dengan bibir sobek terkoyak, berteriak kalut di bawah kucuran shower kamar mandi. Itulah makanan sehari-hari ibu Kancil sejak menikah dengan Pak Bambang brengsek itu.
Jelas, hadiah-hadiah pemberiannya semuanya tak ada yang sepadan dengan apa yang sudah ibunya alami. Setiap lebam, nyeri dan sakit hati tidak bisa ditukar dengan harta. Trauma akibat kekerasan, jenis luka batin seperti itu, akan terus menghantui sampai kita mati.
Andai ayahnya tidak meninggal dikalahkan stroke bertahun-tahun silam, jelas ibunya tidak perlu menikahi Pak Bambang untuk melanjutkan hidup.
Kancil memang tidak juga dekat dengan ayah kandungnya karena beliau bukanlah tipe orang yang hangat dan suka mencurahkan kasih sayang kepada anaknya, tapi Kancil tahu Ayah tidak akan pernah mengasari Ibu seperti itu. Tidak akan pernah.
"Pisah dari dia, Bu," tegas Kancil pada ibunya. "Sekarang Ibu cuma dijambak, dipukul, ditampar, dijedukin ke tembok. Nanti-nanti bisa jadi dia ngasarin Ibu lebih-lebih lagi. Nggak ada yang bisa bela Ibu karena Rama nggak tinggal bareng Ibu."
Ibunya diam seribu bahasa. Saat itulah ponsel di dalam tas ibunya berbunyi. Kancil memandang ibunya penuh siaga karena yakin telepon itu dari Pak Bambang.
Ibunya mengerjap cepat dan melihat ke arah lain ketika mengangkat telepon itu. Seperti orang yang sedang diteror rentenir karena sudah lama menunggak hutang, padahal itu suaminya sendiri yang menghubungi.
Gugup, kedua tangan ibu Kancil tampak gemetaran setiap membuka mulut. Hanya beberapa menit, telepon itu kembali ditutup.
"Bilang apa si Bambang itu?" tanya Kancil karena ibunya tadi bicara sangat pelan-pelan, ia tidak bisa menyimpulkan pembicaraannya dengan lawan bicaranya.
Ibu Kancil tampak lebih gugup. "Kamu mendingan pergi dulu, ya, Ma. Ini Pak Bambang ternyata udah di Bandung. Dia nyusulin Ibu, mau ke sini."
"Bagus dia ke sini, Rama mau ngomong sama dia. Udah di mana dia katanya?"