"Pacaran melulu! Berduaan terus! Kalau kalian sampe putus, Maman mah nggak kebayang kalian bakal gimana!" goda Maman pada suatu hari pada Kancil dan Jihan. Saat itu mereka sedang duduk berdua di kursi panjang sambil makan nasi rames Tante, dan Maman yang baru datang langsung nimbrung dan menggerecoki.
"Ih, Maman! Jangan ngomong yang pamali, ah," koreksi Jihan langsung. "Putus itu terjadi, kalau salah satu dari kita memutuskan, kan, Man? Kalau dua-duanya nggak pernah ngomong putus, kan nggak akan terjadi!"
"Kalau Jihan bilang putus, urang pura-pura nggak denger aja," tambah Kancil.
"Kalau maneh yang bilang putusnya?" tanya Maman ke Kancil.
"Itu artinya dia ingkar janji," Jihan yang menjawabkan. "Soalnya Kancil udah janji mau ngelamar Jihan sepuluh tahun lagi!"
"Dan sepuluh tahunnya setelah itu, dan sepuluh tahunnya lagi," Kancil membenarkan.
"Jadi setiap tahun kalian nikah gitu?" cibir Maman.
"Yoi," jawab Kancil dengan mantap. "Diresepsiin terus pokonya. Anak-anak yang ngordinir. Bolehlah diadainnya di sini. Biar si Tante yang ngurus katering."
"Menunya nasi rames atuh?" timbrung Tante yang sedang menyendok serundeng ke dalam piring pelanggan yang datang ke warungnya sore itu.
"Bebas, Tante," kekeh Kancil. "Kalau Tante yang masak, apa aja pasti enak."
"Sama bikin balakutak hideung, Tante," tambah Maman. "Biar tamu yang dateng giginya item-item semua!" Balakutak adalah masakan khas sunda yang terbuat dari sotong yakni ikan yang bentuknya mirip cumi, yang ketika dimasak akan mengeluarkan semacan tinta hitam pekat.
"Eh, jangan atuh. Kasian tamu-tamunya, pas difoto jadi kaya yang ompong," tolak Tante langsung.
"Aku mah yang ngurus parkiran aja kalau gitu, biar nggak macet di depannya," ujar Maman menawarkan diri. Tapi Jihan tampak tidak setuju.
"Jangan. Kalau Maman yang ngurus parkiran, pasti kacau. Nanti tamu yang cantik aja yang boleh parkir, yang laki-laki parkirnya disuruh sendiri terus yang jauuuuh."
Maman langsung tertawa. "Ha-ha. Tau aja ih si Jihan, mah!"
* * *
"Cil, aku boleh nggak gabung geng kamu?" tanya Jihan pada suatu hari. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan berjalan kaki mau kembali ke Warmes dari tukang batagor yang letaknya di jalan besar dekat dengan sebuah sekolah.
"Boleh," jawab Kancil sembari tertawa. "Tapi kamu jadi laki-laki dulu."
"Emang kalau perempuan nggak bisa?"
"Aturannya harus laki-laki. Kita belum nerima perempuan."
Mereka sudah sampai di Warmes. Di gerbang Warmes, tampak Sandru dan Ibuy sedang menghitung jumlah gantungan kunci yang akan dibagikan kepada anak-anak.
Di sana, Jihan langsung menghampiri Sandru. "Sandru, kalau Jihan boleh gabung masuk ke geng kamu nggak?"
Sandru masih serius sekali menghitung gantungan kunci yang diletakkan di kursi semen di depan. Setelah selesai, ia mendongak. "Bukannya kamu udah gabung, ya? Cuma belum diospek." Tentu saja itu cuma bercanda.
"Iya, bener," kekeh Jihan. Ia lalu melirik Kancil sambil melayangkan pandangan menuduh dan menyalahkan. "Tuuuh, kata ketuanya aja aku udah jadi anggota!"
"Ketuanya nggak becus itu mah, ngelanggar aturannya sendiri," dumel Kancil bercanda.
"Nih, satu buat kamu," ujar Sandru. Ia lalu memberikan Jihan sebuah gantungan kunci yang ada logo geng mereka. "Jangan dipasang di tas nanti ditandain geng lain, di tempat pensil boleh."
"Beneraaan, Sandru, Jihan juga kebagian?"