Duar! Duar!
Entah sudah berapa mercon yang sudah dilemparkan. Sasa dan Dio tidak sempat menghitungnya.
Setelah berlari dengan susah payah karena memakai sepatu boot kebesaran, akhirnya mereka berdua sampai juga di depan gerbang.
Dio langsung mencopot sepatu bootnya lalu melemparkannya ke luar gerbang. Melihat Sasa yang kesusahan melepas sepatunya karena kedua tangannya tertusuk duri, cowok itu langsung membantunya.
"Lo bisa naik?" tanya Dio setelah selesai melepas kedua sepatu Sasa.
Sasa melihat kedua tangannya yang ditancapi beberapa duri dan berdenyut-denyut menyakitkan. Ia kemudian menoleh pada Dio lalu mengangguk dengan terpaksa.
"Lo naik duluan deh," kata Dio.
"Oke," balas Sasa. Ia memegang badan gerbang dengan tangannya yang tertusuk duri. Cewek itu menggigit bibirnya karena menahan sakit.
Mercon-mercon masih dilemparkan. Entah apa yang akan dilemparkan kalau mereka tidak segera pergi. Siapa tahu bakal ada bom atau meriam kan? Agak mustahil, tapi bukannya tidak mungkin.
Sasa mengabaikan tangannya yang terasa sakit dan memanjat gerbang dengan cepat. Begitu sampai di bagian atas gerbang, ia langsung meloncat. Dio menyusulnya.
Mercon-mercon itu berhenti dilemparkan saat Dio mendarat di luar gerbang. Melihat itu, Dio coba-coba kembali menaiki gerbang. Dua pijakan kakinya di badan gerbang, mercon itu kembali dilemparkan.
"Gila," desis Dio sambil turun dari gerbang.
"Kita harus pergi dari sini memang, Yo," kata Sasa dengan nada letih.
"Yaa." Cowok itu mengangguk malas. Ia lalu melirik kedua tangan Sasa. "Coba liat tangan elo," katanya. Sasa mengulurkan tangannya ke depan wajah cowok itu.
Dio meraih satu tangan Sasa lalu menyinari dengan senternya. "Lumayan banyak duri yang nusuk."
"Ya, tapi nggak papa, kok. Yok lah kita cepetan pergi dari sini," katanya dengan tidak sabar.
Dio meraih tasnya di punggung kemudian membuka risletingnya. Cowok itu mengeluarkan lakban hitam berukuran cukup besar dari sana.
"Buat apa?" tanya Sasa dengan kerutan di keningnya.
Dio tidak menjawab pertanyaannya, melainkan menarik lakban itu lalu menyobeknya. "Siniin tangan elo," katanya pada Sasa.
Sasa mengulurkan tangan kanannya. Dio menerangi tangan Sasa, menempelkan lakban ke bagian di mana duri-duri menusuk kulit Sasa, lalu menariknya.
Sasa menjerit tertahan karena tarikan lakban di kulitnya membuat kulitnya agak sakit. Ia mengamati tangannya. Duri-duri yang menancap tercabut oleh lakban itu. Sasa menoleh pada Dio, "Kok lo bawa lakban?" tanyanya pada Dio yang sedang menarik lakban dari gulungannya.
"Kebetulan tadi ada pelajaran keterampilan yang mengharuskan gue bawa lakban," jawabnya lalu meraih tangan kiri Sasa lalu menempelkan lakban itu ke bagian yang terdapat durinya.
"Makasih ya, Dio," ucap Sasa tulus.
Dio mengangguk lalu menarik lakban itu, membuat Sasa lagi-lagi menjerit tertahan.
"Kok lo tau cara narik duri ini pake lakban?" tanya Sasa.
"Liat di google."
"Kapan?"
Dio menatapnya dengan malas. "Itu nggak penting."
"Mmm… ya udah." Sasa memang tidak seharusnya kepo tentang apa-apa yang Dio tahu atau alami.
Dio menyerahkan senter yang semula ia pegang ke tangan Sasa. "Coba lo liat masih ada nggak duri yang nancep di tangan lo."
Sasa mengangguk, lalu menggeleng setelah memeriksa tangannya dan tidak menemukan diri lagi di sana.
Duar!
"Shit!" Dio mengumpat karena kaget atas ledakan mercon yang suaranya lebih besar dari yang tadi.
Setelah berhenti beberapa menit, mercon itu kembali dilemparkan oleh orang yang terduga adalah Pak Ompuse Damaega.
Duar! Lagi, mercon dilemparkan.
Sasa menutup telinganya rapat-rapat. Dio menoleh padanya dan berkata, "kita pulang deh." Sasa mengangguk dengan kedua tangan menutup telinga. Mereka berjalan menghampiri sepedanya.
Duar! Duar! Dua mercon dilemparkan secara berturut-turut. Kini telinga Dio sudah berdengung karena suara mercon itu.
"Gila orang itu," gerutu Dio sembari menaiki sepedanya.
"Jadi, Pak Ompuse itu selain aneh juga gila, ya." Sasa di sebelahnya menimpali. "Kalo kita luka parah gara-gara kena mercon yang dilemparin dia gimana, coba? Dia nggak takut dituntun mencelakai anak di bawah umur, gitu?" lanjutnya.
"Dia nggak peduli lah," kata Dio. "Tujuan dia cuma ngusir kita."
"Itu beneran dia apa bukan, sih?"
"Kalo bukan, siapa? Pasti dialah. Heran, gue nggak tau apa yang ada di otaknya."
"Sama, gue juga nggak tau," kata Sasa lalu mengayuh sepedanya. Meski lelah, ia harus semangat mengayuh kebut sepedanya supaya cepat sampai rumah.
Beberapa menit mengayuh sepeda, Sasa merasakan lututnya sakit berdenyut-denyut. Oh, iya, duri-duri yang menancap di sana belum dicabut. Sasa berdoa semoga ia tidak pingsan gara-gara kelelahan dan kesakitan.
"Sa, gue laper, pengen makan, cepetan gowes sepedanya," kata Dio saat dirasa gowesan kaki Sasa di pedalnya melambat.
"Kaki gue sakit! Kecucuk duri tadi!" balas Sasa dengan jengkel. Dio lupa apa bagaimana sih?
"Mau dicabut dulu? Kelamaan tau!"
"Nggak! Gue kan nggak bilang begitu!" Ih, Dio nih, batinnya.