Mencari Kucing Dio

Nur Afriyanti
Chapter #14

Misteri Surat dan Poster

Mereka masih menunggu keluarnya Pak Ompuse sampai pukul tujuh malam. 

Lampu di sana tidak dinyalakan, jadi mereka duduk bersimpuh di atas tanah berumput diselimuti kegelapan. 

"Kita panggil aja apa nggak, Yo?!" tanya Sasa seraya bangkit berdiri. Cewek itu jengkel karena sudah menunggu di sana berjam-jam, tapi bapak itu belum keluar juga. 

"Janganlah. Kita tunggu aja."

"Mau sampe kapan?! Ini kulit gue udah bentol-bentol digigit nyamuk, lho!" Sasa menunjuk tangannya.

Dio menyerang pelan. Sebenernya ia juga sudah kehilangan kesabaran menunggu bapak itu. Ia juga bingung kenapa bapak itu tidak juga menemui mereka. Sebenarnya apa yang terjadi?

"Gue panggil, ya?" Dan tanpa menunggu persetujuan Dio, Sasa berteriak mengucapakan salam.

"ASSALAMUALAIKUM! PERMISI! KONBAWA! BAPAK OMPUSE YANG TERHORMAT! TOLONG TEMUI KAMI!"

"SUMIMASEN BAPAK! KONBAWA!"

"KONBAWA! SUMIMASEN!"

"ASSALAMUALAIKUM! SELAMAT MALAM!"

"BAPAK OMPUSE! ANDA ADA DI DALAM, KAN?!" 

Sasa lelah, ia jatuh terduduk di atas rerumputan. Ia mendongak menatap Dio yang sedang menatap lekat pintu depan rumah di balik gerbang itu. 

"Gimana nih Yo sekarang?" tanya Sasa.

"Kita pulang dulu deh."

Mereka pulang ke rumah masing-masing sambil memikirkan apa yang sebenarnya telah terjadi. 

Jika surat yang mereka selipkan di gerbang itu bukan Pak Ompuse yang mengambilnya, lalu siapa? Berkali-kali ke sana, mereka tidak melihat atau menemukan seorang pun yang datang ke sana. Apa mungkin surat itu terbang tertiup angin dan jatuh ke rerumputan dan tidak terlihat oleh mereka? Agak mustahil, karena surat itu tidak ringan layaknya sehelai kertas. Angin yang bertiup kala itu tidak terlalu kencang. Apa saat itu ada angin puting beliung kecil yang menerbangkan surat itu? Mmm… Itu bisa terjadi, ada kan, angin puting beliung kecil? Ada.

"Jadi, apa itu yang mungkin terjadi, angin puting beliung yang nerbangin surat itu?" tanya Sasa pada Dio. Mereka sekarang sedang duduk di bangku dekat lapangan olahraga. Jam istirahat pertama.

"Bisa jadi, tapi nggak tau itu bener yang terjadi apa bukan," kata Dio. Cowok itu mengusap rambutnya yang agak gondrong ke belakang sambil menghela napas. "Firasat gue mengatakan surat itu belum sampai ke si bapak."

"Itu masuk akal. Pantes aja bapak itu nggak mau keluar juga," kata Sasa pelan. "Jadi, gimana nih?"

"Rencana gue, kita tulis surat lagi ke si bapak."

"Terus diselipin ke gerbang itu lagi?"

"Nggak."

"Terus?"

Dio menyunggingkan senyum kecil. Senyum pertama yang Sasa lihat hari ini.

"Kita masukkin ke rumahnya lewat celah di pintu rumahnya."

***

"Gemboknya dikunci dari luar," kata Sasa saat mereka ke rumah Pak Ompuse sepulang sekolah.

"Berarti dia nggak ada di rumah. Nggak papa." Setelah mengatakan itu Dio memanjat gerbang diikuti Sasa.

Surat sudah Dio tulis lagi dan sekarang berada di kantung celana cowok itu. Isinya sama dengan yang ia tulis kemarin.

Duri-duri di teras itu masih ada. Mereka menghentikan langkahnya di depan teras dan Dio mengulurkan tangannya untuk menyentuh duri-duri tersebut. Walaupun sudah mulai mengering, duri-duri itu masih tajam.

"Masih tajem," ucapnya pada Sasa.

"Berarti kita harus pake sepatu boot lagi," gumam Sasa.

"Ya." Dio berdiri lalu mengeluarkan dua sepatu boot dari dalam tasnya. Ia sengaja membawanya karena yakin duri-duri itu belum disingkirkan.

Setelah memakai sepatu boot kebesaran itu, keduanya melangkah mendekati pintu. Sesuai perkiraan mereka sebelumnya, celah di bawah pintu tersebut pas untuk dilalui oleh surat itu. Juga, duri-duri yang ada tidak menghalangi surat yang akan dimasukkan lewat sana. Surat tersebut meluncur bebas ke dalam saat Dio memasukannya dengan dorongan yang kuat.

"Berhasil!" seru Sasa sambil bertepuk tangan. "Terus sekarang kita ngapain, nih?"

Dio mengembuskan napas pelan. "Kita pulang," katanya.

"Nggak nunggu di sini, gitu?" tanya Sasa.

"Kan kita udah ngirim surat. Kalau pak Ompuse pulang hari ini, dia bakal nemu surat itu dan baca. Kalo dia udah baca dan tau alasan kita ke sini, waktu kita ke sini lagi besok dan manggil dia, dia bakal nemuin kita," jelas Dio pada Sasa yang mengangguk-angguk paham.

"Semoga dia pulang hari ini dan baca surat kita, ya," ucap Dio pelan. Mata cowok itu yang biasanya tajam, kali ini agak sayu. Dio pasti sedih karena kucingnya belum ketemu juga. 

"Ngapa lo liain gue?" Mata Dio kembali melotot. Sasa menggeleng kaku. "Ya udah ayo pulang." 

Mereka berjalan bersebalahan menuju gerbang. Dengan terlebih dahulu melepas sepatu boot kebesaran yang tadi mereka pakai. 

Sepeti biasa, Dio menyuruh Sasa mengendarai sepedanya di depannya. Namun, saat keluar dari gang itu, Dio menjajarkan posisi sepedanya dengan Sasa dan menoleh ke arah cewek itu.

"Woy, Sa, lo nggak ikhlas ya nyari kucing gue?"

"Ha?!" Bukannya tidak dengar, tapi Sasa bingung dengan pertanyaan Dio.

"Lo nggak ikhlas ya nyari kucing gue?"

"Ikhlas kok."

Lihat selengkapnya