Mencari Kucing Dio

Nur Afriyanti
Chapter #15

Pak Ompuse dan Burung Gagak

Mata Sasa dan Dio menyorot ke arah pohon-pohon dan semak-semak yang ada di sana. Apakah seseorang itu ada di balik pohon? Atau dia tiarap di balik semak-semak yang ada?

"Keluar kamu!" Sasa berseru dengan mata yang memelototi salah satu pohon.

Dio si pemberani kali ini pun agak gentar. Hantu bukan apa-apa baginya, tapi bila ada seseorang yang menguntit mereka seperti ini, baginya itu agak menakutkan.  

Angin berembus dan menggoyangkan dahan-dahan juga daun pohon. Membuat kedua remaja itu langsung menoleh dengan wajah tegang ke arahnya. 

Selama beberapa menit kemudian, mereka terus menoleh ke sekitar dengan perasaan takut, waswas, dan waspada. Keringat dingin mulai muncul di kening dan telapak tangan mereka. Tangan Dio yang memegang senter terasa licin. Matanya menatap tajam ke sekitar. 

Jika penglihatan kurang efektif untuk mencari di mana seseorang itu berada, apa yang bisa digunakan selain itu? Penciuman. Maka itu yang Dio lakukan sekarang. Mencoba mencium aroma yang identik dengan manusia seperti parfum yang ia gunakan. Angin akan menerbangkan aroma itu jika dia memakainya. 

Namun, Dio tidak mencium bau parfum atau wewangian yang dipakai orang itu. Sama sekali tidak menciumnya. Dan beberapa menit yang mereka habiskan untuk mengawasi sekitar tidak membuahkan hasil apa-apa. Mereka tidak menemukan pergerakan seseorang itu di dekat mereka. 

"Apa lo liat sesuatu?" tanya Dio.

"Nggak," jawab Sasa sambil menggeleng.

Mereka berdua lalu melemaskan tumbuhnya yang sedari tadi tegang. Menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan dan menetralkan detak jantung mereka yang berdetak kencang. 

Sasa mengelap keringat di dahinya dengan lengan bajunya. Ia lalu menoleh pada Dio. 

"Terus gimana nih? Udah mau jam delapan," katanya.

"Mau kan nunggu di sini beberapa menit lagi?" 

"Dio, gue ada PR," jawab Sasa resah. 

"Gue juga ada, kok. Kita tunggu di sini tiga puluh menit lagi. Nunggu Pak Ompuse dateng, juga seseorang yang ngambil surat dan dan poster kita." Meski Dio mengatakannya dengan intonasi yang biasa, kalem, dan tanpa paksaan, Sasa tahu ia tidak bisa menolaknya. Maka ia mengangguk padanya.

Dio menunggu dengan duduk bersimpuh di tanah berumput. Tak memedulikan celananya yang basah karena terkena embun. Sedangkan Sasa berdiri di sebelahnya. Meski judulnya menunggu, mata mereka mengamati sekitar. Memasang sikap waspada. Menoleh jika ada bunyi-bunyian yang tertangkap telinga mereka. 

Sepuluh menit berdiri menunggu, Sasa berjalan ke sepedanya dan duduk di joknya. Dio masih berada di tempatnya dan tak beranjak sedikit pun. Sepuluh menit kemudian lagi, mereka masih berada di tempat masing-masing. Masih mengamati sekitar dengan waspada. Lima menit kemudian, Dio bangkit dari duduknya.

"Gue mau ke dalem dulu," katanya pada Sasa.

"Mau ngapain?"

"Mencari tahu." Setelah itu ia berbalik dan segera memanjat gerbang.

"Lo di situ aja," katanya saat sudah berada di bagian atas gerbang.

"Iya." Sasa mengangguk padanya. Sebenarnya Sasa takut, tapi ia malas bilang pada Dio. Cowok itu pasti akan mengolok-oloknya jika ia bilang.

Dari tempatnya duduk Sasa memperhatikan Dio yang berjalan mendekati teras. Cahaya di sana minim, tapi ia bisa melihat dengan jelas sosok Dio dengan bantuan cahaya bulan serta senter yang dibawa cowok itu. Ia mengambil sepatu boot dari tasnya lalu dengan cepat memakainya. Setelahnya berjalan ke jendela depan rumah itu. Ia menyorotkan senternya ke dalam lewat jendela. Setelah selesai mengintip lewat jendela depan, ia beralih ke bagian samping kanan rumah tersebut. Sasa tidak bisa melihat apa yang Dio lakukan di sana.

Lalu beberapa saat kemudian, Dio muncul. Ia berjalan ke bagian samping rumah sebelah kiri. 

Beberapa menit kemudian cowok itu tidak muncul juga. Membuat Sasa diserang perasaan gelisah. Jangan-jangan terjadi sesuatu yang buruk dengan cowok itu. Sasa jadi takut. Cewek itu menenangkan dirinya. Ia tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Harus berpikir positif. Namun, perasaan gelisah itu tak kunjung hilang, malah bertambah karena Dio tidak muncul juga. 

Sasa baru saja akan beranjak dari tempatnya untuk menyusul Dio saat melihat cowok itu muncul. Ia mengembuskan napas lega.

"Kok lo lama?" tanya Sasa saat Dio memanjat gerbang.

"Kenapa? Lo takut?" 

"Khawatir."

"Ciee… khawatir."

"Apaan cie-cie? Nggak lo banget.

"Oke, lupain." Dio berjalan menuju sepedanya lalu menaikinya.

"Nemu apa lo di sana?" tanya Sasa.

"Nggak ada. Cuma ruangan yang gelap gulita."

"Terus, kenapa tadi lo lama?"

"Gue ada niatan buat masuk ke rumah itu lewat jendela, tapi malah dikunci."

"Terus, lo mau coba buka tapi nggak berhasil?" 

Dio mengangguk.

"Kira-kira mana yang bener ya, Pak Ompuse memang nggak ada di rumah, atau dia ada di rumah, tapi ngegembok gerbang dari luar supaya kita ngira dia pergi?" tanya Dio. "Menurut lo gimana?"

Sasa tidak langsung menjawab. Ia berpikir beberapa saat, agak lama. Keningnya berkerut tajam.

"Sa?" panggil Dio dengan menatap wajah cewek itu.

"Ah! Garasinya di mana?"

"Garasi?" tanya Dio memastikan.

"Ya."

"Kayaknya sih yang di sebelah kanan rumah itu. Yang ada pintu besar dan panjang."

"Lo intip nggak, di sana ada mobil atau nggak?" tanya Sasa.

Dio terdiam sebentar. Tadi ia hanya melihat sekilas pintu itu karena tahu pintu itu bukan terbuat dari kaca, jadi tidak bisa ia intip dalamnya. 

"Pintu itu bukan terbuat dari kaca, jadi gue abaiin karena nggak bisa gue intip dalemnya," kata Dio setelah terdiam beberapa saat.

Sasa membuang napas pelan. Pasti ada cara lain untuk melihat ke dalam. Ia berpikir sambil mengetuk-ngetukkan kaki kanannya. Saat melihat ke ujung sepatunya, ide cemerlang tiba-tiba muncul dari otaknya.

"Gue tau, Yo!" serunya pada Dio dengan spontan menepuk lengan cowok itu keras.

Lihat selengkapnya