Mencari Kucing Dio

Nur Afriyanti
Chapter #18

Sam

Mata Dio semakin menyipit bingung. "Maksudnya, Pak?

"Kucing kamu ada di depan gerbang rumah saya pada waktu itu. Paha kiri belakangnya lebam dan bengkak. Begitu juga dengan dadanya. Ia tampak kesakitan saat itu. Waktu saya mengangkatnya, ia memberontak dan mencakar saya. Tapi saya tidak melepaskannya, perlahan-lahan kucing itu diam. Saya membawa kucing itu masuk. Memeriksa lukanya dan memberikannya makan. Awalnya ia mau makan, tapi beberapa jam kemudian ia tidak mau. Badannya panas dan ia tidak bisa berjalan." Pak Ompuse berhenti sebentar. Memberikan waktu bagi Dio dan Sasa mencerna kata-katanya. 

Sasa menoleh pada Dio. Ia melihat mata cowok itu berkaca-kaca. Cowok itu menelan ludahnya dengan susah payah. Kemudian, matanya bertubrukan dengan mata Sasa. Ia membuang muka darinya ke arah Pak Ompuse.

"Lalu, Pak?" tanya Dio.

"Saya mengobati kucing itu dengan obat dan kemampuan yang saya punya. Mengompres badannya yang panas dan mengobati lebam dan bengkaknya dengan beras dan kencur. Saya minumkan kucing itu susu. Dua hari belum ada perubahan. Hari berikutnya, kucing itu demam tinggi. Badannya sangat panas dan ia tidak mau makan. Lalu hari berikutnya, dia muntah-muntah."

Sasa melihat Dio mengusap kasar matanya yang mulai mengeluarkan air mata. Melihat itu, rasa bersalah Sasa kembali hadir dalam dirinya.

"Lalu, Pak? Kucing saya mati?" tanya Dio dengan suara pelan. Sorot matanya yang biasanya tajam kini sayu.

Hati Sasa terasa ditikam sesuatu saat Dio menanyakan itu. 

"Tidak," jawab Pak Ompuse sembari menggeleng. "Hari berikutnya, saya membawa kucing itu ke dokter hewan yang ada di luar kota. Kenapa saya membawanya ke luar kota? Karena kebetulan saya sering ke luar kota, ke rumah anak saya. Setelah dirongent, ternyata dua rusuk di bagian kirinya retak." Pak Ompuse menatap Sasa dan Dio bergantian. "Apa yang terjadi dengan kucing itu?"

"Kucing itu dilempar oleh Sasa," jawab Dio sambil melirik Sasa.

Pak Ompuse menatap Sasa dengan matanya yang sipit. Bapak itu menelengkan kepalanya dan bertanya, "Kenapa?"

"Ehh… saya phobia kucing Pak. Waktu itu, sewaktu pulang sekolah saya berpapasan dengan Dio. Saya kaget dan takut saat melihat kucing Dio yang berada di keranjang sepedanya. Saya menyuruh Dio minggir." Sasa menoleh pada Dio lalu menatap cowok itu jengkel. Lalu kembali pada Pak Ompuse dan melanjutkan ceritanya, "Tapi Dio nggak paham sama apa yang saya katakan. Memang waktu itu saya menjerit-jerit. Itu karena saya ayok melihat kucing itu. Lalu, kami yang mengendarai sepeda itu bertabrakan. Kucing Dio bukannya meloncat ke arah Dio, malah ke pangkuan saya. Saya menjerit, kemudian memegang kucing itu dan melemparkannya sekuat tenaga. Saya nggak bermaksud mencelakai hewan itu. Itu saya lakukan karena saya takut. Jadi, ya begitulah. Kucing itu mencakar Dio waktu Dio mengangkatnya kemudian pergi. Dan tidak terkejar oleh Dio." Sasa menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. "Saya tidak bermaksud mencelakai kucingnya Dio," lanjutnya dengan mengedikkan dagunya ke arah Dio.

Pak Ompuse mengangguk-angguk kemudian berkata, "Jadi, karena telah membuat kucing Dio lari, kamu yang phobia terhadap kucing membantu mencarinya?"

"Iya Pak," jawab Sasa sambil mengangguk.

"Jadi Pak, di mana Sam sekarang?" tanya Dio pada Pak Ompuse.

"Sam masih di dokter hewan. Kucing itu masih harus banyak istirahat. Jangan banyak bergerak dulu. Harus terus diawasi. Karena tidak yakin bisa merawatnya dengan baik, saya menaruh kucing itu di sana, dulu, dan berencana akan mengambilnya jika dia sudah benar-benar sembuh. Tadi malam, ketika saya menelepon dokter hewan tersebut, ia bilang paha kiri kucing tersebut sudah sembuh. Masih ada memarnya, tapi sedikit. Rusuknya yang retak sudah mulai membaik, tapi lebih baik dia jangan dibuat banyak bergerak dulu selama kira-kira satu minggu ke depan. Nah, sekarang, kamu ingin kucingmu kembali saat dia sudah benar-benar sembuh, atau memilih mengambilnya sekarang dan merawatnya sendiri?"

"Saya akan merawat kucing saya sendiri," jawab Dio cepat.

Pak Ompuse mengangguk. "Saya akan menelepon anak saya supaya mengantar kucing kamu ke sini. Tenang, anak saya seperti kamu, pencinta kucing."

"Apa itu tidak merepotkan?" tanya Dio.

"Tidak. Sama sekali tidak. Kalian tunggu di sini." Pak Ompuse berlalu dari hadapan mereka ke ruang sebelah. Dari tempatnya berdiri Sasa dan Dio dapat mendengar Pak Ompuse bercakap-cakap dengan seseorang di telepon dengan bahasa Jepang. Beberapa saat kemudian dia kembali ke hadapan mereka.

"Anak saya akan sampai nanti malam," ucap bapak itu dengan senyum tipis. 

"Terima kasih Pak," ucap Dio sambil tersenyum lebar.

"Arigatougozaimasu," ucap Sasa sambil membungkukkan badan.

Pak Ompuse mengangguk pada mereka berdua. Hening beberapa saat.  

Setelah apa yang bapak itu katakan, masih banyak hal yang Sasa dan Dio belum tahu. Misalnya kenapa bapak itu terus berusaha mengusir mereka dari rumahnya. 

Pak Ompuse, seolah tahu apa yang mereka pikirkan berujar, "Bukan tanpa alasan saya berusaha mengusir kalian." Ia memulai. Sasa dan Dio menatap wajah bapak itu lekat-lekat. Wajah dengan ekspresi tenang dengan matanya yang sipit, dan agak mengerikan karena bekas luka melintang yang ada. 

"Dulu, pernah ada dua orang remaja laki-laki yang selalu mengunjungi rumah saya pada sore hari. Waktu anak laki-laki saya yang sekarang berumur dua puluh dua tahun itu masih berusia tiga belas tahun. Anak tersebut duduk di depan pintu gerbang saya, mengintip-ngintip ke dalam sambil berbisik-bisik. Saya memperhatikannya dari balik kaca jendela. Dia tidak memanggil-manggil seperti kalian. Meski saya tidak menghampiri kedua anak tersebut, tapi saya selalu memperhatikannya. Saya akan membiarkannya jika mereka tidak melakukan hal-hal yang merugikan saya. Lalu pada suatu sore saat saya pergi, yang artinya rumah ini kosong, dua anak itu masuk ke pekarangan rumah saya. Mengacak-acak tanaman saya yang berada di depan teras, dan memecahkan kaca jendela saya. Saya tahu kejadian itu berlangsung pada sore hari karena saat saya pergi siang hari, rumah saya masih baik-baik saja. Dan saat pulang malam harinya, rumah saya sudah berantakan dengan kaca-kaca jendela yang berserakan. Saya menemukan secarik kertas di dekat pintu depan. Di kertas itu tertulis bahwa dua remaja itu ke rumah saya karena rumah saya misterius dan mereka yakin rumah ini ada penghuni lain selain saya yang berwujud manusia. Mereka bilang mereka uji nyali di sini. Mereka masuk ke rumah saya, ke ruangan-ruangan yang ada. Mengobrak-abrik yang terlihat oleh mereka. Seperti mencari sesuatu. Dua hari kemudian, mereka tidak datang lagi. Saya kira mereka memang sudah berhenti mengunjungi rumah saya, tapi keesokkan harinya mereka datang lagi. Entah apa maksud mereka, mereka melempar batu ke arah kepala anak saya yang sedang menyapu halaman. Kepala anak saya berdarah. Saya mengejar mereka yang lari saat melihat saya dan melemparkan mercon ke arah mereka. Mereka terluka kakinya, karena saya melemparkannya tepat sasaran. Dan sejak saat itu, mereka berhenti mengunjungi rumah saya. Saya benci anak-anak itu. Maka waktu kalian ke sini, saya tidak suka. Saya mengira tujuan kalian ke sini karena penasaran dengan rumah saya. Ingin tahu dan kurang lebih sama tujuannya dengan dua remaja pada waktu itu. Maka dari itu saya melakukan banyak cara untuk mengusir kalian. Maaf, karena saya tidak mencari kebenarannya dan malah hampir mencelakai kalian. Dan untuk panah yang waktu itu saya arahkan pada kalian, panah itu lunak dan tipis. Jika mengenai kulit, ia hanya menusuk seperti jarum dan tidak akan menancap dalam. Memang tajam, tapi tidak akan melukai kalian dengan parah. Saya mengejar kalian pun bukan karena ingin menangkap, tapi hanya untuk menakut-nakuti kalian, supaya kalian tidak datang ke rumah saya lagi. Maafkan saya karena telah membuat kalian ketakutan." Pak Ompuse membungkukkan badannya pada mereka berdua.

Sontak Sasa dan Dio langsung menyentuh tangan Pak Ompuse dan membimbing bapak itu supaya berdiri tegak kembali.

"Tidak apa-apa, Pak," ucap Dio yang diangguki oleh Sasa.

"Sekali lagi maafkan saya," ucap bapak itu dengan menundukkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, Pak." Kali ini Sasa yang berucap.

Bapak itu tersenyum pada mereka berdua. Sasa dan Dio membalasnya. 

"Poster kalian yang ditempelkan di gerbang, si burung gagak kan yang mengambilnya?" tanya Pak Ompuse dan mereka mengangguk bersamaan. "Ternyata burung gagak itu membuat sarang di belakang rumah ini." 

"Burung gagak itu punya bapak?" tanya Dio yang dibalas gelengan kepala oleh Pak Ompuse.

Pak Ompuse berbalik, kemudian dengan tongkat baseballnya, ia mengetuk dinding di belakangnya. Dinding itu terbuka dan menampakkan tangga yang melingkar ke atas. Sasa dan Dio melotot takjub melihat itu. Pak Ompuse berbalik menghadap mereka dan mempersilakan keduanya menaiki tangga. 

Dio melangkah terlebih dahulu diikuti oleh Sasa. Mereka mendaki tangga yang diapit oleh tembok itu perlahan. Saat sampai di tangga terakhir di atas, Pak Ompuse yang berada di belakang menyuruh Dio untuk membuka pintu yang ada. Dio membuka pintu tersebut dan matanya langsung disambut pekarangan yang cukup luas. Berumput hijau yang dipotong pendek. Ada dua pohon mangga yang sudah besar di bagian barat pekarangan. Di salah satu pohon mangga itulah, si burung gagak membangun sarangnya yang terbuat dari kertas-kertas. Yang di antaranya adalah poster pengumuman hilangnya Sam dan surat yang mereka tujukan pada Pak Ompuse.

"Burung itu berjenis kelamin betina. Ia memiliki beberapa telur di sarangnya," ucap Pak Ompuse.

Lihat selengkapnya