Sasa mengusap peluh di pelipisnya. Cewek berambut kuncir kuda itu mengayuh sepedanya di jalanan yang beraspal mulus. Matahari seolah berada sejengkal dari kepalanya saking panasnya. Setiap kayuhan kakinya di pedal sepeda membuat satu tetes keringat keluar dari pori-pori kulitnya.
Ia membelokkan arah sepedanya ke kanan. Matanya menyipit saat melihat pengendara sepeda di depannya. Kira-kira sepuluh meter darinya, seorang cowok mengendarai sepedanya menuju ke arahnya dengan membawa sesuatu di keranjang sepedanya. Ada sesuatu yang menyembul dari keranjang sepeda itu.
Ia mengusap peluh di sekitar matanya. Pandangannya agak buram karena ia mengucek matanya. Jadi ia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang menyembul di keranjang sepeda cowok itu. Dan saat jarak keduanya sudah dekat, kurang lebih dua meter, matanya melotot kaget saat tahu apa sesuatu itu. Itu adalah seekor kucing!
"Minggir! Minggir lo!" teriak Sasa pada cowok pengendara sepeda itu.
"Ha?!" tanya cowok itu dengan tampang bingung.
Jarak keduanya kini tinggal satu meter. Dan cewek itu semakin menjerit-jerit sambil menatap ngeri kucing gemuk berbulu putih dengan corak hitam coklatan yang ada di keranjang. Ia masih mengayuh sepedanya. Tapi ia tampak histeris di jok kendaraannya tersebut Meneriakkan kata "minggir" pada si cowok. Cowok yang diteriaki hanya mampu menatap bingung sambil mengayuh sepedanya. Ia bingung setengah mati. Ia sungguh tidak tahu apa yang membuat Sasa menjerit-jerit seperti itu. Saking bingungnya, otaknya buntu dan hanya mampu mengayuh sepeda. Seperti Sasa. Bedanya si cowok dengan tampang bingung, sedangkan Sasa dengan tampak panik.
Dan kini jarak keduanya tinggal setengah meter. Sepeda cowok dan Sasa kini saling berhadapan.
"Kucing! Minggir!" teriak Sasa dengan suaranya yang melengking seperti sempritan. Dan cowok itu masih cengok di tempatnya. Jeritan histeris Sasa membuatnya tak bisa berpikir jernih. Seharusnya ia minggir. Seperti yang Sasa teriakan.
Karena ketidakberdayaan dua anak manusia itu, sepeda keduanya bertabrakan dan mereka terjatuh di atas aspal yang panas.
Si kucing melompat keluar dari keranjang karena kaget. Entah apa yang ada di kepala si kucing, ia tidak melompat ke arah sang majikan, tetapi malah melompat ke arah Sasa yang phobia terhadap hewan berbulu itu. Ia melompat ke pangkuan Sasa yang mukanya telah pucat pasi. Sasa menjerit lebih kencang dari sebelum-sebelumnya. Teriakannya benar-benar dahsyat! Kucing di pangkuannya mengeong keras dan membuat Sasa menjerit kencang lagi.
"Sam!" teriak si cowok. Ia hendak meraih si kucing, tapi si kucing malah mencakar tangannya dan mengeong keras. Suara kucing itu membuat Sasa menjerit lebih keras lagi.
"Sam!" teriak cowok itu lagi. Ia berhasil memegangnya dan hendak mengangkat kucing itu dari pangkuan Sasa, tetapi hewan itu malah memberontak. Ia mencakar si lengan si cowok. Pegangan si cowok pada kucingnya terlepas.
Ketakutan Sasa pada kucing itu membuatnya menarik kaki hewan itu kemudian melempar kucing itu sekuat tenaganya. Hewan itu jatuh berdebam ke aspal dan mengeong dengan suara keras.
Cowok itu menghampiri kucingnya dan mengangkatnya. Ia memeluk hewan gendut tersebut juga mengelus-elusnya untuk menenangkannya. Tetapi hewan itu malah memberontak dan mencakar wajah dan tangannya. Cowok itu mengerang kesakitan dan pelukannya pada si kucing terlepas. Hewan gendut itu lari tunggang langgang ke arah gang yang berada tak jauh dari sana. Ia lari, terus lari, di jalan gang yang berkelok dan sosoknya lalu tak terlihat lagi.
Sasa merasakan dadanya sesak. Jantungnya berdetak kencang dan keringat membanjiri seluruh tubuhnya yang gematar. Ia merasakan gejolak di perutnya yang membuatnya mual. Kepalanya mulai pusing. Dengan kaki gemetar ia perlahan berdiri. Cewek itu mengatur napasnya dan menenangkan degup jantungnya sembari memandang ke arah si cowok yang sedang berlari mengejar kucingnya.
"Sam!" Cowok itu berteriak keras. Dengan muka merah dan lecet akibat cakaran kucingnya, ia terus berlari mengejar si kucing yang kini sudah tidak terlihat lagi.
Cowok itu berhenti berlari, tapi terus meneriakkan nama kucingnya. Sam.
"SAM! SAM!" Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Sasa yang masih syok karena baru saja ada kucing yang melompat ke pangkuannya masih berdiri dengan kaki gemetar di tempatnya. Cewek itu memandangi si cowok yang tak henti-hentinya meneriakkan nama kucingnya.
Sosok cowok itu menghilang di kelokan gang tersebut. Ia masih meneriakkan nama kucingnya. Suaranya terdengar jelas di telinga Sasa.
Sasa bingung apa yang harus ia lakukan sekarang. Apakah ia boleh pergi? Tapi, walaupun secara tidak sengaja, ia yang membuat kucing cowok itu lari. Apa ia harus membantu mencari kucing tersebut? Tidak. Ia tidak bisa. Ia takut dengan kucing. Sasa menggeleng kuat-kuat.
Dan setelah dipikir-pikir, itu juga bukan salahnya. Ia tidak sengaja membuat si kucing lari. Ia melemparkannya karena ia takut saat hewan itu berada di pangkuannya.
Biar sajalah. Ia bisa pergi sekarang. Ya, ia akan pergi sekarang. Ia tidak bersalah. Jadi, ia tidak perlu bertanggung jawab atas larinya kucing tersebut. Lagipula, itu kucing si cowok, maka cowok itulah yang memang harus mencarinya.
Sasa berbalik dan berjalan ke sepedanya. Ia mendirikan kendaraan itu lalu menoleh ke gang tersebut beberapa detik, lalu menaiki sepedanya dan pergi dari sana.
***
"Sam! Sam!" Cowok itu masih berteriak-teriak memanggil kucingnya. Ia menoleh ke sana kemari, lalu berhenti sejenak untuk mengatur napas. Tenggorokannya sakit karena terlalu keras berteriak. Ia masuk ke pekarangan rumah-rumah yang ada di sana. Ia panjat gerbang rumahnya yang tidak terlalu tinggi itu. Ia juga bertanya pada orang-orang pemilik rumah itu dan orang-orang yang ia temui. Tapi nihil. Ia tidak juga menemukan kucingnya. Tidak ada yang melihatnya.
Ia terus berjalan sambil meneriakkan nama kucingnya. Dan akhirnya ia menemukan Sam. Kucing itu sedang meringkuk di semak-semak pinggir jalan saat ia melihatnya. Menggeram dengan suara keras dan mata melotot pada si cowok.
"Sam!" panggil cowok itu. Ia berjalan mendekatinya. Sam memandangnya dengan tajam, dan lagi-lagi, kucing itu lari menghindarinya.
"Sam! Jangan lari, Sam! Sam!" Cowok itu mengejar si kucing yang berlari tunggang langgang.
Ia tidak memperhatikan jalan di depannya sehingga tidak dapat menghindar saat ada lubang di depannya. Ia terjungkal dengan wajah yang terlebih dahulu mendarat di aspal. Lututnya terantuk batu yang ada di sana.
"AH!" erangnya.
Ia merasakan sakit luar biasa pada hidungnya. Darah keluar dari lubang hidungnya dan mengalir ke mulutnya. Ia meludahkan cairan itu dan mengelap bibirnya.
Dengan meringis menahan sakit di hidung juga anggota tubuh lainnya, ia bangkit berdiri.
Sam sudah tidak terlihat lagi.
"Sial," maki cowok itu.
Dengan langkah tertatih ia berjalan sambil melihat sekeliling. Kucing gendut itu tidak terlihat. Ia terus berjalan sambil memanggil-manggil Sam. Darah masih mengucur dari lubang hidungnya.
Sampai di pertigaan gang, ia berhenti dan menoleh pada dua jalan tersebut.
Ke mana Sam pergi?