Sampai gang itu, Sasa menoleh pada dua jalan yang ada. Ia memutuskan untuk terlebih dahulu mencari ke jalan di sebelah kanan. Tapi di sana tidak ada satu pun rumah. Yang ada hanyalah kebun jeruk dengan pohon jeruknya yang sedang berbunga.
Kebun itu ada di kanan dan kiri jalan gang tersebut.
Apa mungkin kucing Dio lari ke sana?
Hawa dingin menusuk kulit Sasa dan membuatnya merinding. Matahari sudah mau tenggelam. Sebentar lagi gelap. Masa dia mau mencari di kebun jeruk itu pada jam segini? Pasti banyak nyamuk yang akan menyerangnya. Belum lagi hewan-hewan melata seperti ular yang mungkin saja akan ia temui. Dan kebun ini juga lumayan luas. Berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk mencarinya?
"Woi!"
Sasa menoleh ke sumber suara dan menemukan Dio yang sedang mengendarai sepedanya menuju ke arahnya.
"Apa?" tanya Sasa.
"Pulang dulu aja. Baru lanjut cari lagi."
Sasa lega mendengarnya, tapi, masa ia mau mencari malam-malam?
"Lo serius nyuruh gue nyari malem-malem? Kalo ada apa-apa gimana?"
"Lo nggak sendirian. Bareng gue."
"Oh. Oke deh." Sasa mengangguk.
"Ya udah buruan balik," suruh Dio.
Sasa berbalik dan berjalan menuju sepedanya. Dio mengikutinya dari belakang.
"Ini beneran kita mau nyari di kebun jeruk ini? Apa iya kucing elo lari ke sini?" tanya Sasa sambil berjalan.
"Mungkin ajalah," jawab Dio.
"Kebun itu lumayan luas lho. Beneran kita mau nyari di sana?"
"Beneran lah! Luas atau nggknya kebun itu nggak jadi alasan."
"Terus, emang boleh kita masuk kebun itu? Kalo yang punya marah gimana?"
"Boleh aja."
"Sok tau, lo!"
"Lo liat aja, kebunnya aja dipager pake bambu setinggi satu meter. Pendek gitu. Siapa aja bisa bebas keluar masuk sana," jelas Dio.
"Iya juga sih," kata Sasa sambil mengangguk-angguk. "mang kebun itu punya siapa, sih?" tanya Sasa.
"Nggak tau," jawab Dio.
Sasa sampai di tempat di mana sepedanya diparkir. Dio menghentikan sepedanya di samping Sasa. Menunggu cewek itu menaiki sepedanya.
"Lo duluan," kata Dio saat Sasa sudah naik ke sepedanya.
"Lo mau ngikutin gue lagi?"
"Ngawal elo. Gue nggak mau lo nggak sampe rumah. Repot gue kalo lo ilang dan nggak balik ke rumah."
"Oh gitu. Terus, lo pulang ke rumah dulu, kan?"
"Iya. Nanti gue ampirin elo. Kita langsung berangkat waktu gue udah nyampe rumah elo."
"Oke."
"Ya udah buruan jalan."
Sasa mengangguk. Ia mulai mengayuh pedal sepedanya.
Suara jangkrik mengiringi perjalanan mereka berdua. Langit yang semula berwarna oranye telah berganti hitam. Sekitar sudah mulai gelap. Lampu-lampu di pinggir jalan dan rumah-rumah mulai dinyalakan. Para pedagang seperti bakso, jamu, dan mi tek-tek mulai berkeliling menjajakan dagangannya. Suara pedagang mi tek-tek memukul-mukul mangkuknya, begitu juga dengan pedagang bakso. Sedangkan pedangan jamu menggunakan tap berisi rekaman lagu dangdut.
Beberapa meter di depan mereka, pedagang mi tek-tek berhenti dengan dua ibu-ibu yang berdiri di depannya dengan memegang dua mangkuk di tangan mereka masing-masing. Bau mi tek-tek yang lezat itu tercium oleh hidung Sasa. Juga Dio.
Tiba-tiba Dio yang mengendarai sepedanya di belakang Sasa beralih ke sampingnya. Ia menoleh pada Sasa.
"Berhenti dulu," kata cowok itu.
"Kenapa?"
"Berhenti."
Sasa menurut. Ia mengeram sepedanya. Begitu juga dengan Dio.
"Kenapa berhenti?" tanya Sasa pada Dio yang sedang menyetandarkan sepedanya. Cowok itu kemudian turun dari sana.
"Gue mau beli mi itu," kata Dio sambil menunjuk pedagang mi tek-tek.
"Oh, ya udah."
"Lo tunggu di sini. Jangan coba-coba kabur!" kata Dio sambil menunjuk Sasa.
"Ck. Nggak. Gue nggak akan kabur!"
"Sip. Awas lo sampe coba-coba kabur."
"Nggak! Gue nggak akan kabur!" seru Sasa.
"Tunggu di sini." Dio berlalu dari hadapan Sasa dan berjalan ke pedagang mi tek-tek.
Sasa menunggu Dio di atas sepedanya sambil melihat ke arah Dio yang sedang menunggu pedagang mie tek-tek melayani pesanannya. Bau kuah mi itu membuat Sasa meneguk ludahnya. Lezat. Sasa jadi pengen, tapi ia tidak membawa uang. Seandainya membawa ia akan beli juga.
Dio kembali beberapa saat kemudian. Dengan tangan kanan yang menenteng plastik berisi mi tek-tek.
"Ngapa lo liat-liat?" tanya Dio saat menemukan Sasa sedang melihat ke arah mi tek-tek yang dibawanya.
Sasa menggeleng. "Nggak papa."
"Pengen, ya?" goda Dio. Bibir cowok itu melengkungkan senyum tipis.
"Nggak," kata Sasa bohong.
"Bener?" tanya Dio dan Sasa mengangguk.
"Ya udah," kata Dio. Ia melanjutkan langkah yang tadi terhenti. Setelah sampai di sepedanya, ia menyantelkan plastik itu di setang sepeda.
"Gue tau lo sebenarnya pengen mi ini," kata Dio sambil menoleh pada Sasa.
"Nggak kok," kata Sasa berbohong lagi.
"Beli sana kalo mau mah," kata Dio. Sasa menggeleng.
"Kenapa? Nggak bawa duit, ya?"
"Sebenarnya… iya. Gue nggak bawa duit," kata Sasa.
"Tapi lo pengen?"
"Sebenernya iya."