Mencari Kucing Dio

Nur Afriyanti
Chapter #6

Mencari di Rumah Tua

Sasa hanya bisa pasrah saat tangannya ditarik oleh Dio agar ikut berjalan mendekati rumah yang menyeramkan itu. Ancaman Dio membuatnya patuh atas apa yang diperintahkan oleh cowok itu. 

Ia memandang gerbang yang berdiri menjulang di depannya. Benar-benar seperti gerbang rumah yang tidak berpenghuni. Besinya berkarat dan gerbang itu nampak tua. Seperti rumahnya. Mirip rumah di film-film horor. Ohhhh… Sasa sungguh tidak suka berada di sini. Ia ingin pergi, tapi tidak mungkin bisa karena ada Dio.

"Jugaan, apa mungkin sih kucing elo lari ke sini? Kayaknya nggak mungkin, deh," kata Sasa. Berharap semoga Dio membatalkan niatnya untuk mencari kucingnya di rumah itu.

"Nggak mungkinnya kenapa?" tanya Dio tanpa menoleh padanya.

"Enggg… ya nggak mungkin aja pokoknya," jawab Sasa sekenanya. Ia sebenarnya kan tidak tahu alasannya.

"Bilang aja lo nggak mau nyari di sini!" cibir Dio. Ia kemudian melanjutkan, "Kenapa? Lo takut, ya? Cemen amat lo! Apa sih yang ada di pikiran lo? Hantu?"

Dio melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Sasa. Mereka kini sudah berada tepat di depan gerbang.

"Iya. Gue takut ada hantu," jawab Sasa jujur. Ia kemudian menoleh pada Dio. "Emang lo nggak takut sama hantu?"

Dio yang semula mendongak menatap gerbang menoleh padanya. Cowok itu tersenyum miring pada Sasa.

"Gue. Nggak. Takut. Sama. Hantu." 

"Beneran? Apa biar gue salut sama elo?" tanya Sasa penuh selidik.

Dio mengeraskan rahangnya dan memandang kedua mata Sasa tajam.

"Gue nggak takut apa-apa. Kecuali sama yang di atas," katanya sambil menunjuk telunjuknya ke atas. Ia kembali tersenyum lebar pada Sasa yang terdiam.

Dio menyapukan pandangannya ke bagian gerbang di depannya. Ia mencari bagian yang bisa ia gunakan untuk memanjat gerbang tersebut. Saat telah menemukan, cowok itu tersenyum cerah. Ia kemudian mulai menapakkan kakinya ke bagian gerbang itu sambil berpegangan dan mulai memanjat.

"Lo mau ngapain?" seru Sasa melihat Dio yang memanjat gerbang di depannya.

"Buta apa gimana sih! Jelas-jelas ini gue lagi manjat gerbang! Pake nanya lagi!" kata Dio nyolot.

Sasa mendesah jengkel. Ia memandang Dio yang sedang memanjat gerbang dengan mudahnya. Tidak sampai dua menit cowok itu sudah ada di bagian atas gerbang. 

"Jangan diem aja kek patung! Buruan naik!" seru cowok itu.

"Nanti kalo yang punya rumah ini marah gimana?" Sasa masih enggan mencari Sam di rumah ini.

"Yang punya rumah ini lagi nggak di rumah. Jadi aman," kata Dio yakin.

"Sok tau lo!" seru Sasa. 

Dio tidak memedulikan seruan Sasa. 

"Buruan naik!" kata Dio.

Baiklah. Sasa akan ikuti kemauan Dio. Ia mulai mencari pijakan dan pegangan pada gerbang itu. Setelah menemukannya, ia mulai memanjat gerbang dengan hati-hati. Dio sudah meloncat dari atas gerbang dan mendarat dengan sempurna ke tanah berpaving block di bawahnya. Cowok itu memperhatikan Sasa yang tengah memanjat dengan hati-hati. Saat Sasa sudah berada di bagian atas gerbang ia berseru.

"Loncat!"

Tapi Sasa malah bergeming di tempatnya.

"Heh! Buruan loncat!" seru Dio lagi. Ia mendesah jengkel saat tahu apa yang tengah menimpa Sasa. 

"Nggak usah takut," kata Dio.

Sasa menggigit bibirnya. Ia memandang ngeri ke bawah. Tinggi gerbang itu kurang lebih dua meter. Cukup tinggi bagi Sasa. Apalagi ia tidak biasa loncat-loncat begini. 

"Gue nggak berani," cicit Sasa.

"Ck. Nggak akan kenapa-napa. Percaya deh sama gue," kata Dio dengan suara setenang mungkin. Nada suara cowok itu jadi lembut saat mengatakannya.

Sasa mengembuskan napas kuat berkali-kali. Berusaha mengusir rasa takut yang menyergapnya. Wajahnya agak pucat dan kedua telapak tangannya berkeringat dingin. Ia menelan ludah yang terasa pahit. Ia benar-benar tidak punya keberanian untuk meloncat.

"Ayo Sasa… Lo nggak akan kenapa-napa," ucap Dio selembut mungkin. "Buruan loncat. Gue tangkep deh." Dio merentangkan kedua tangannya. Mengisyaratkan Sasa agar segara meloncat. "Ayo, gue tangkep. Seratus persen lo aman."

Sasa menggeleng. "Gue tetep nggak berani," kata Sasa. Kedua mata cewek itu mulai berkaca-kaca.

Dio sebenarnya jengkel, tapi ia tidak boleh menunjukannya. Ia harus membujuk Sasa selembut mungkin agar cewek yang ternyata cengeng dan penakut itu mau loncat. 

"Ayo dong. Nggak akan sakit kok. Kan gue tangkep. Dan gue kuat. Percaya geh sama gue," bujuk Dio lagi. "Sasa…"

Cewek itu masih bergeming. Dio mulai kehilangan kesabaran. Ia mencari cara lain.

"Nah, lo turun aja. Bukan loncat. Kayak lo manjat tadi. Mijak dan pegangan di gerbang."

Sasa menuruti usul Dio. Matanya mulai mencari pijakan untuk turun. Tapi kaki dan tangannya tidak mau bergerak. Rasa takut membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa.

"Gue takut, Dio," kata Sasa dengan suara pelan.

Dio menjerit dalam hati. Cewek ini membuat waktunya terbuang sia-sia. Bagaimana coba? 

"Elo loncat. Yakin, gue tangkep," kata Dio lagi. "Kalo turun susah. Jadi lo loncat aja."

Lihat selengkapnya