"Sasa! Woi!" teriak Dio untuk entah yang keberapa kali.
Sasa masih lari tunggang-langgang. Cewek itu bahkan meninggalkan sepedanya.
Dio masih mengejar Sasa yang berlari sekitar sepuluh meter di depannya. Lari cewek itu lumayan cepat juga ternyata. Atau itu efek karena Sasa ketakutan, ya? Entahlah. Yang pasti Dio sampai ketinggalan jauh dengannya.
Apa sih yang diliat cewek itu? tanya Dio dalam hati. Hantu, kah?
"Sasa! Berhenti kenapa sih!" teriak Dio lagi.
Namun Sasa tetap berlari. Masih dengan kencang. Tak memedulikan teriakan Dio.
Saat akan sampai di pertigaan gang, Sasa berhenti berlari. Ia kemudian berjongkok dan membenamkan wajahnya di antara lipatan tangan.
Melihat Sasa berhenti, Dio menghentikan larinya. Ia lalu berjalan pelan menuju Sasa. Napas cowok itu ngos-ngosan. Mereka berlari lumayan jauh. Ditambah Dio berlari sambil berteriak-teriak memanggil Sasa.
"Lo kenapa sih?!" tanya Dio saat sudah berada dekat Sasa. Kedua alis cowok itu bertaut memandang Sasa yang masih menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangan.
Sasa tidak menjawab pertanyaan Dio. Cewek itu malah semakin membenamkan wajahnya.
Dio membuang napas kasar. Ia lelah dan kesal. Lelah karena habis berlari-lari dan berteriak memanggil Sasa. Dan kesal karena cewek itu malah berlaku tidak jelas.
"Lo kenapa?!" tanya Dio lagi.
"Gue nggak mau ke rumah itu! Gue nggak mau lagi ke rumah ituuu!!" jerit Sasa. Suaranya tertahan di antara lipatan tangannya. Tapi masih terdengar amat keras.
"Ya kenapa? Apa apa?" tanya Dio.
"Gue nggak mau ke rumah itu lagi! Nggak mauuuu!! Nggak mauuuu!!"
"Kenapa?" tanya Dio mulai frustasi.
"Gue nggak mau ke rumah itu lagiiiii!!! AAAAAAAAAA!!!!!"
Dio menutup telinganya rapat-rapat. Sekarang Sasa malah menjerit-jerit tidak jelas.
"Berisik! Lo kenapa, sih?!"
"AAAAAAAAAA!!!"
"BERISIK!!" Dio belas berteriak.
Jeritan Sasa berhenti. Cewek itu mengangkat wajahnya dari lipatan tangan. Wajahnya merah dan berpeluh. Efek karena berteriak dengan keras.
Dengan napas yang memburu ia mengusap keringat di dahinya dengan lengan bajunya. Ia memandang Dio yang menatapnya dengan sorot lelah.
Wajah cowok itu juga merah dan berkeringat. Ia mengusap kepalanya dengan tangan kanannya dan mengembuskan napas kuat.
Dio tidak berkata apa-apa. Cowok itu lalu duduk di sebelahnya kemudian meluruskan kaki.
"Istirahat dulu deh," katanya pendek.
Sasa menganggukkan kepalanya. Ia kemudian menekuk lututnya dan menopangkan dagunya di antara kedua lututnya.
Dio di sebelahnya menopang tubuh di tanah dengan kedua tangan di belakang. Kedua remaja itu menghela napas pelan. Menatap ke kejauhan dengan mata yang lelah.
Sekarang pukul lima lebih lima belas menit. Nyamuk dan serangga-serangga lainnya mulai berdengung di sekitar mereka. Satu dua nyamuk hinggap di kulit Sasa dan Dio. Menusuk kulit mereka dan menghisap darahnya. Tapi kedua remaja itu tidak memperdulikannya. Mereka sibuk melamun menatap kejauhan.
Beberapa saat kemudian, Dio menegakkan tubuhnya. Ia menoleh pada Sasa dan bertanya, "Lo tadi kenapa jerit-jerit?"
Sasa meluruskan kedua kakinya. Ia mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menjawab.
"Gua liat kursi goyang-goyang sendiri," kata cewek itu.
Kedua alis tebal Dio terangkat. "Kursi goyang-goyang sendiri? Kursi apa? Kursi goyang?"
"Gue nggak tau! Yang pasti kursi itu goyang-goyang sendiri!!"
"Dan lo berpikir itu karena hantu?" tanya Dio.
"Ya iyalah! Apalagi?" tanya Sasa.
"Bisa aja itu karena angin."
"Ruangan itu tertutup rapet, Yo! Mana mungkin kena angin! Jugaan, emang rumah itu angker, Yo. Udah banyak pohon cempaka, bangunannya serem, udah tua! Besi gerbangnya karatan. Itu rumah nggak berpenghuni! Liat aja tampangnya aja kek gitu! Daun-daun cempaka sama bunganya yang aromanya yang bikin gue mual berserakan! Apalagi kalo bukan rumah nggak berpenghuni? Rumah nggak berpenghuni yang angker?" kata Sasa panjang lebar.
Dio hanya mengangguk sekilas.
"Terus kursi yang elo liat itu kek mana sih bentuknya? Terus goyang-goyang sendirinya gimana?"
"Kursinya serem. Kayak kursi di film-film horror gitu. Dia goyangnya kayak jungkat-jungkit gitu, Yo. Begini." Sasa memperagakan kursi yang ia lihat itu dengan tangannya. "Pokoknya serem banget!" seru Sasa.
"Oke-oke. Jangan teriak lagi. Kuping gue sakit denger suara elo," kata Dio.
"Iya, nggak. Pokoknya gue takut banget. Gue nggak mau nyari ke sana lagi," kata Sasa lirih.
Dio berseru jengkel dalam hati melihat cewek penakut di sampingnya ini. Hari ini mereka belum beruntung. Sam belum bisa mereka temukan. Dan Dio sepertinya harus melanjutkan pencariannya esok hari. Kondisi Sasa yang masih syok tidak bagus jika ia paksa untuk mencari lagi. Apalagi jika ke rumah tua itu.
Dio mengetuk-ngetukkan jarinya ke paha. Berpikir. Bagaimana ini? Apa ia harus menghentikan pencariannya di rumah tua itu? Atau tetap mencarinya tanpa Sasa? Ah, itu jelas tidak bisa. Sasa harus ikut mencari. Ia wajib atas itu.
Hawa dingin menyadarkan Dio bahwa sebentar lagi hari akan gelap. Ia berdiri dan menoleh pada Sasa.
"Pulang," katanya.
Sasa mengangguk. Ia berdiri dan berjalan menyusul Dio yang telah berjalan beberapa langkah di depannya. Menuju sepeda mereka yang diparkir di dekat gerbang rumah tua itu.
Sesampainya di sana, keduanya langsung menaiki sepeda masing-masing. Dan seperti biasa, Dio menyuruh Sasa berjalan terlebih dahulu. Tak lupa ia memperingatinya agar mengayuh sepeda dengan cepat.
"Gue kawal sampe rumah," kata Dio. "Jangan lupa, ngebut gowes sepedanya," lanjutnya.
Sasa menurut. Mereka berdua bersepeda beriringan meninggalkan gang tersebut.