Saat itu mendung. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Dio langsung menghampiri Sasa ke kelasnya. Masuk begitu saja ke kelas yang gurunya sudah pulang dan menghampiri Sasa yang sedang membereskan alat belajarnya. Dan seperti biasa, dengan mata melotot tajam ditambah suara yang sangat-sangat tidak lembut ia menyuruh Sasa agar cepat membereskan alat belajarnya dan segera keluar. Mereka akan mencari Sam saat itu juga.
Dio juga tidak mengizinkan Sasa pulang terlebih dahulu. Sasa protes. Ia lapar. Ingin makan dulu.
Dio membuka tasnya dan menarik keluar kotak bekal berukuran besar dari sana. Ia meletakkan kotak bekal itu di meja Sasa.
"Kita makan ini," kata Dio. Kemudian ia merogoh tasnya lagi dan mengeluarkan dua botol air mineral berukuran besar dari sana. "Ini minumnya," kata cowok itu.
Senyum Sasa terkembang saat itu juga. Baguslah. Lumayan makan gratis. Dan bekal yang Dio bawa itu cukup besar. Jumbo lah. Jadi Sasa pasti akan kenyang. Cewek itu tersenyum lebar pada Dio.
"Oke deh. Kalo kayak gini ya gue nggak akan pulang," kata Sasa.
"Hmmmmm." Dio bergumam. "Ya udah ayo kita makan."
"Mau makan di mana nih?" tanya Sasa.
"Di sini," jawab Dio. Ia kemudian melihat ke sekeliling kelas itu. Masih ada beberapa murid yang masih berada di sana. Dan mereka menatap ke arah Dio dan Sasa. Dio melotot pada mereka. "Ngapain lo orang liat-liat?! Cepet pulang!" bentaknya. Suaranya menggelar ke seluruh penjuru ruangan.
Teman-teman sekelas Sasa segera pergi dari Sana begitu Dio membentak dengan suara menggelegar. Diikuti tatapan tajam Dio yang berdiri di sebelah Sasa.
Setelah semua teman-teman Sasa sudah keluar, Dio duduk di bangku sebelah Sasa dan membuka kotak bekal di depannya.
Sasa yang semula berdiri ikut duduk. Ia menatap antusias ke arah kotak bekal yang sedang dibuka oleh Dio. Mata cewek itu langsung berbinar Saat melihat lauk di dalamnya. Oseng-oseng cumi dan bakso. Ada sayur brokoli juga. Bau gurih makanan itu langsung tercium oleh Sasa dan membuat ia meneguk air liurnya.
"Enak banget itu," kata Sasa sambil tersenyum.
"Enak lah. Namanya makanan," balas Dio.
Sasa nyengir. Ia menerima sendok yang disodorkan oleh Dio dan mendekatkan kotak bekal itu ke Sasa.
"Baca doa dulu," kata Dio. Sasa mengangguk. Setelah membaca doa, dengan lahap keduanya menyantap bekal itu. Berdua. Tanpa berkata-kata.
***
"Tutup," ucap Dio setelah makanan di kotak bekal itu habis.
Sasa mengangguk patuh. Ia menutup kotak bekal tersebut.
"Makasih makanannya," kata Sasa sambil tersenyum lebar. Perut kenyang hati senang.
"Ya," jawab Dio pendek.
"Masukkin ke tas gue," kata Dio sambil menyerahkan tasnya ke dekat Sasa.
Lagi-lagi Sasa mengangguk patuh. Cewek itu memasukkan kotak bekal berwarna hitam itu ke tas Dio. Ia juga memasukkan botol air mineral milik Dio ke tasnya setelah disodorkan oleh cowok itu. Dan untuk botol air mineral milik Sasa yang masih ada isinya, ia memasukkan ke tasnya sendiri. Sesuai apa yang dikatakan Dio tentu saja.
Resleting tas Dio ditutup oleh Sasa, dan tas itu diambil oleh Dio dan digendongnya. Sasa juga meraih tasnya kemudian menggendongnya.
"Berangkat sekarang, kan?" tanya Sasa.
"Iya lah. Kapan lagi. Yok, keluar," ajak Dio. Mereka berdua kembali melangkah bersisian keluar kelas. Menuju parkiran sekolah mereka.
Seperti biasa, Sasa yang berkendara di depan, sedangkan Dio di belakangnya. Karena kalau di belakang Sasa bisa kabur, kata Dio. Sasa hanya mengembuskan napas panjang mendengarnya. Ia patuh mengendarai sepeda di depan Dio. Seperti biasa juga, kebut.
Mereka memarkirkan sepedanya bersebelahan setibanya di rumah tua. Keduanya lalu turun dan berjalan mendekati gerbang.
Bulu kuduk Sasa mulai berdiri. Langit yang saat itu sedang mendung membuat udara sekitar dingin. Bau bunga cempaka tercium pekat.
"Ngeri banget, Yo," kata Sasa pelan. Cewek itu berdiri berdekatan dengan Dio.
"Lo takut?" tanya Dio padanya.
"Iyaaa," jawab Sasa.
"Kita nyarinya nggak mencar kok. Berdua. Jangan jauh-jauh dari gue kalo lo takut," kata cowok itu. Dan Sasa semakin mendekatkan dirinya pada Dio. Diam-diam Dio tersenyum melihat wajah Sasa yang agak pias. Entah kenapa ia ingin tertawa. Tapi ia tahan. Bisa memunculkan perdebatan panjang kalo ia tertawa, dan Sasa marah karena tak terima.
Mereka berdua kini berdiri di depan gerbang. Seperti saat mereka pertama kali ke sana, gerbang itu tertutup rapat dan digembok dari luar. Tapi ada yang berbeda. Halaman yang hari sebelumnya dipenuhi rontokan daun dan bunga cempaka kini bersih. Tidak bersih sekali memang. Tapi hanya sedikit daun dan bunga yang ada di halaman.
"Kok bersih?" tanya Sasa dengan mata melebar. Cewek itu menoleh pada Dio. "Berarti---"
"Ada yang nyapu. Berarti yang punya udah pulang. Dia nyapu halamannya terus---" Dio memenggal kalimatnya dan menyentuh gembok gerbang di depannya. "Pergi lagi. Yang artinya, rumah ini kosong lagi. Sekarang waktunya manjat gerbang ini," kata Dio lalu mulai menaiki gerbang.
Kurang dari tiga menit cowok itu sudah sampai di bagian atas gerbang. Dan dengan segera ia meloncat.
"Nah, lo buruan naik!" seru Dio pada Sasa.
"Tapi gue takut loncat," kata Sasa. Wajah cewek itu semakin pucat.
"Ya ampun. Lo kemarin waktu lari itu nggak takut. Cuma loncat, Sa. Lo nggak akan kenapa-napa!"
"Kemarin mah beda. Gue itu refleks."
"Udah deh. Lo naik dulu aja. Buruan!"
Sasa akhirnya naik setelah beberapa saat mematung di tempatnya. Kini cewek itu sudah berada di bagian atas. Bersiap untuk loncat.
"Apa mau gue tangkep lagi?" tanya Dio yang mendapat gelengan kepala oleh Sasa.
"Ya udah buruan loncat!"
"Iya-iya." Sasa menggigit bibirnya. Dengan membaca aba-aba dalam hati, ia meloncat dan mendarat sempurna di tanah berpaving block.
"Nah, itu bisa. Nggak papa, kan?" tanya Dio.
Sasa mengangguk dan tersenyum simpul. "Nggak papa."
"Ya udah ayo jalan," ajak Dio.