Esoknya sepulang sekolah, Sasa dan Dio mendatangi rumah cewek yang tempo hari mereka datangi. Yang belum mereka belum tahu siapa namanya. Untuk menanyakan siapa nama bapak pemilik rumah tua itu.
Pintu terayun terbuka dan sosok cewek itu keluar dari sana. Ia mengenakan celemek berwarna biru.
"Oh, kalian. Mau masuk dulu, nggak?" tanyanya pada Sasa dan Dio yang berdiri di depan pintu rumahnya.
Dio dan Sasa kompak menggeleng.
"Kita cuma mau tanya, siapa nama bapak pemilik rumah tua itu?" tanya Dio.
"Oh. Namanya Ompuse Damaega."
***
Selepas mendatangai rumah cewek itu dan bertanya siapa nama bapak pemilik rumah tua, Sasa dan Dio mengayuh sepedanya menuju ke rumah tua yang gerbangnya masih digembok dari luar.
Pekarangan rumah itu bersih dari daun-daun dan pohon bunga cempaka. Lagi-lagi, argumen tentang si pemilik rumah tua yang pulang dan sekarang telah pergi muncul lagi.
"Dia kapan pulang kapan berangkat, sih? Nggak pas mulu waktu kita dateng ke sini," gerutu Sasa. Cewek itu mengetuk-ngetukkan jarinya ke gembok gerbang yang sedikit berkarat tersebut.
"Rencana kita masih sama, ya? Nunggu bapak itu pulang?" tanya Sasa.
"Masih," jawab Dio pendek. Cowok itu duduk di tanah berumput depan gerbang dan menyandarkan punggungnya ke gerbang.
Sasa ikut duduk di sebelahnya.
"Berapa lama nih kita nunggu?" tanya Sasa.
"Entah," jawab Dio sambil mengangkat bahu.
"Kita mau nunggu sampe jam berapa?"
"Jam setengah enam," jawab Dio.
"Sore banget. Udah mau magrib itu mah!"
"Ck. Terus lo maunya sampe jam berapa?"
"Jam lima."
"Oke. Tapi abis magrib kita ke sini lagi."
Sasa langsung melotot padanya dengan wajah kaget.
"Abis magrib? Malem-malem ke sini? Ya ampun Dio! Ngeri lah pasti! Nggak-nggak!" tolak Sasa keras. Bakal ketemu hantu mereka pasti.
"Nggak usah lebay, sih. Nggak akan ada apa-apa. Makanya buang jauh-jauh pikiran tentang hantu itu dari kepala elo!"
"Ya ampun Diooo…" rengek Sasa dengan wajah memelas. "Ya udah sampe jam setengah enam aja! Tapi jangan malem." Sasa memulai negosiasi.
Terlambat. Dio sudah memutuskan bahwa mereka akan ke sini lagi sehabis maghrib jika sampai jam lima bapak pemilik rumah tua belum datang.
"Nggak. Gue udah memutuskan kita bakal ke sini lagi abis magrib," kata Dio mantap, tak bisa dibantah. "Itu kalo sampe jam lima si bapak belum balik, ya. Titik. Nggak ada penolakan. Lo kabur gue buat babak belur." Lagi, Dio mengeluarkan ancaman.
Sasa menghela napas pasrah.
"Ya… Ya udah deh," ucap Sasa.
Dio tiba-tiba berdiri. "Gue mau liat ke dalem dulu," ucapnya. Ia lalu memanjat gerbang dengan cepat dan langsung meloncat begitu sampai di atas.
"Padahal itu percuma lho! Kan bapak itu nggak ada di dalem sana!" teriak Sasa pada Dio yang sedang berjalan ke arah pintu depan rumah.
Dio tidak membalas teriakan Sasa. Cowok itu menuju ke pintu rumah dan mengetuknya tiga kali. Ia juga mengucapkan salam. Lalu ia menunggu beberapa menit. Seperti yang telah diprediksi, tidak ada sahutan dari dalam. Detik berikutnya Dio mengintip lewat jendela dekat pintu. Sekitar sepuluh detik, lalu ia berbalik.
"Nggak ada apa-apa, kan?" tanya Sasa begitu Dio kembali ke sebelahnya.
"Nggak," jawab Dio sambil menggeleng.
"Apa yang lo liat di jendela itu?" tanya Sasa.
"Gorden."
Sasa menyemburkan tawanya.
"Kan! Apa gue bilang! Apa yang lo lakuin itu percuma! Jugaan bapak itu kan nggak ada di rumah. Lo panggil-panggil juga nggak ada yang nyaut."
"Udeh deh diem," kata Dio dingin.
"Lo gue teriakin malah diem aja."
"Diem, gue bilang." Dio memajukan wajahnya pada Sasa dan melotot mengerikan pada cewek itu.
"Oke, ampun." Sasa menggeser tubuhnya agak jauh dari Dio.
"Jadi, kita nunggu di sini aja nih sampe jam lima?" tanya Sasa.
"Ya."
***
Tepat jam lima pas, Dio berdiri sambil memandang ke depan. Ke jalanan di depannya. Belum ada tanda-tanda bapak pemilik rumah tua datang. Sesuai apa yang sudah direncanakan, mereka akan pulang terlebih dahulu.
"Kita pulang," kata Dio lalu berjalan ke sepedanya. Sasa mengangguk dan ikut berjalan menuju sepedanya.
"Gue dari rumah ke rumah elo jam tujuh kurang. Jadi, kurang lebih sampe di rumah elo jam tujuh. Tunggu gue di depan rumah. Begitu gue dateng, kita berangkat."
"Oke, siap!"
"Buruan jalan!"
"Yaa."
Sepanjang jalan, di benak kedua remaja itu, mereka berharap berpapasan dengan si bapak pemilik rumah tua. Meski Sasa takut dengan sosoknya yang ia dengar dari orang-orang, tapi ia berharap hari ini bisa menemuinya dan bertanya tentang kucing Dio.