Mencari Pesan

Setiawan Saputra
Chapter #2

DUA

Perihal pekerjaanku, aku bekerja di sebuah kantor surat kabar. Sudah tiga tahun aku bekerja di situ, menjadi pemburu berita di salah satu media lokal Jogja. Setelah lulus magang, aku diangkat menjadi wartawan tetap dan resmi bergabung di tim redaksi kota, memagang halaman kriminal dan peristiwa.

Aku sungguh senang dengan pencapaian itu, karena itulah cita-citaku sejak aku masih sekolah. Ingin sekali terjun ke bidang jurnalis, tapi selalu saja dihadang oleh kondisi keluarga yang tidak memungkinkanku, untuk mengejar impian karierku. Namun, sekarang aku sudah bebas dari tekanan keluarga, dan bebas memilih pekerjaan yang aku inginkan. Salah satunya menjadi wartawan.

Kantor megah kombinasi putih-biru berlantai tiga di pusat kota itulah kantorku, bernama Jogjapolitan. Pak Sutris seorang satpam yang selalu menyapaku di depan pintu masuk. Tepat di lantai dua, itulah tempatnya orang-orang redaksi, dan di situlah tempat meja kerjaku. Satu lantai terdapat meja-meja panjang, yang terbagi menjadi beberapa komputer yang ditempati oleh para wartawan dan redaktur. Setiap divisi mempunyai meja masing-masing.

Namun, meja-meja itu hanya tempat persinggahan sementara bagi wartawan. Selepas jam sembilan nanti meja-meja itu akan kosong ditinggal penghuninya, kecuali meja redaktur. Begitulah wartawan, menempati meja kerja hanya di pagi hari dan sore hari sebelum pulang, selebihnya berada di luar. 

Sejatinya wartawan tak perlu kantor, begitu teorinya. Sebab, ruang kerjanya seluas dunia ini. Meskipun demikian, biasanya para wartawan berada di kantor hanya untuk beristirahat, membaca, dan konsultasi membuat rencana liputan dengan sang redaktur.

Setiap aku berjalan melewati meja-meja redaksi, sesekali membalas dan memberi sapa pada orang-orang yang berpapasan denganku. Sesuatu yang sudah menjadi budaya di kantor itu, salam dan sapa sudah sedari dulu dipertahankan budayanya.

Ada satu orang dari mereka yang aku temui, yang membuatku penasaran dengan orang itu. Dia selalu menyapaku ketika aku melintas di belakang mejanya, dan cara menyapanya agak berbeda dari yang lain. Entah kenapa dia seperti itu, aku sendiri juga tidak tahu.

Lihat selengkapnya