Di balik peristiwa kebakaran gudang batik malam itu, aku menemukan seorang perempuan yang masih membuatku penasaran. Siapa perempuan itu? dan kenapa bisa aku bertemu dengannya? Aku tidak tahu jelas siapa namanya, sempet ku temui dia di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari lokasi kebakaran.
Setelah liputan kebakaran gudang batik, iseng aku mampir ke sebuah kafe, tempatku bertemu dengan seorang perempuan yang membuatku penasaran sampai besoknya. Tak biasanya aku seperti itu, aku selalu bersikap biasa saja kala bertemu dengan perempuan berbagai macam bentuknya, tapi dengan perempuan itu aku merasakan seperti hal yang aneh, entah ada apa dengan hati ini?
Aku tidak pernah merasakan jatuh cinta, setelah 3 tahun aku dikecewakan dengan cinta. Bagiku awalnya memang indah dan berbunga-bunga, tapi pada akhirnya keindahan itu menjadi suram, dan bunga itu menjadi duri tajam yang menusuk hati, sakit memang rasanya.
Namun, kala itu aku merasakan lagi. Rasa-rasa yang sama seperti gejala awal jatuh cinta. Aku sudah mencoba mengabaikan rasa itu, tapi masih tetap saja nafsuku terus menggoda. Sesekali teringat perpisahanku dengan Airin, perpisahan yang pahit dan menyakitkan, yang membuatku berjanji untuk menolak jatuh cinta.
Tapi sudah tiga tahun lebih lamanya, aku sudah berjuang sekeras mungkin untuk membuang jauh-jauh rasa itu. Tapi sia-sia, rasa itu datang lagi, kini dengan orang yang berbeda.
Sepulang dari kantor, aku berencana ingin mampir ke Kafe Rembulan, tempatnya berada di Jalan Ketandan Wetan, masih satu daerah dengan Gondomanan. Biasanya sepulang kantor aku mampir di salah satu kafe langgananku, di daerah Jetis dekat kantorku.
Di kafe biasanya aku menulis artikel untuk terbitan mingguan di koranku, itu tugas sampinganku sebagai wartawan. Aku sudah rela tidak dibayar soal itu, demi mengerjakan sesuatu yang aku suka. Tapi untungnya, redaksi mau membayarku, lumayan buat penghasilan tambahan.
Malam itu aku harus jauh-jauh lagi ke Gondomanan, ya niatnya untuk tujuan yang sama, menulis artikel, tapi karena ada sesuatu juga di sana, aku rela datang jauh-jauh. Selama di perjalanan, aku masih memikirkan perempuan itu. Lantas siapa dia? Rambut hitam yang lebat terurai ke bawah, ketika menaruh minuman pesananku, suaranya yang lembut disertai senyuman manis, membentuk lesung di kedua pipinya yang gembil.
Sempurnalah perempuan itu, tapi aku masih tidak mengenalnya. Ngobrol pun tidak, meski hanya sekejap. Aku mencoba mengingat-ingatnya lagi, di kala aku memesan minuman. Ia menyambutku dengan senyuman manis, dan aku sempat membaca papan nama yang terpasang di celemeknya, bertuliskan 'Dinda'