Mencari Pesan

Setiawan Saputra
Chapter #7

TUJUH

Selesai mengerjakan liputan terakhir aku langsung pergi ke Kafe Rembulan, sebelumnya aku sudah pertimbangkan untuk pergi ke sana atau tidak. Hari sudah hampir gelap, apa sebaiknya aku kembali ke kosan saja? Tapi ujung-ujung aku tetap berangkat ke Kafe Rembulan, entah aku merasa seperti ada magnet yang menarikku untuk terus datang ke sana. 

Tapi jujur saja, alasanku untuk terus datang ke kafe itu karena aku suka dengan suasana kafenya yang tak terlalu berisik, nyaman buat menulis sambil menyeduh matcha. Juga karena ada Eliza. Ya begitulah, aku akui.

"Mbak Eliza masih belum datang, mungkin masih ada acara dengan komunitasnya,” kata seorang barista yang aku temui, ketika aku bertanya tentang keberadaan Eliza.

“Kalau boleh tau komunitas apa?” tanyaku lagi.

“Komunitas fotografi, Mas. Mbak Eliza aktif di komunitas itu,” jawab seorang pria barista, yang clemeknya terdapat papan nama bertuliskan Awan. Aku pikir pasti itu namanya, nggak mungkin salah lagi.

Aku mengangguk menerima jawabannya, “Terima kasih, Mas Awan,” ucapku.

Dia tersenyum dan menundukan kepala penuh hormat padaku, aku menatapnya agak sedikit aneh kenapa dia seperti itu, atau jangan-jangan Eliza memang menerapkan sifat pegawainya begitu dengan pelanggan.

Okelah, tak perlu aku pikir lebih panjang lagi. Segera aku berjalan ke tempat yang sama seperti kemarinnya. Tapi tunggu sebentar, ada yang unik dari jawaban itu. Dia aktif di komunitas fotografi? Aku baru tahu ini, ternyata Eliza juga mengikuti komunitas fotografi, mungkin ada hobi di sana, atau cuma sekadar jadi model. Kalau menurutku, perempuan secantik Eliza yang jelas ia jadi objek model fotografi.

Okelah, aku tak perlu memikirkan itu. Tujuanku ke sini tidak hanya bertemu dengan Eliza, melainkan juga menulis. Oke, Badran. Waktunya fokus ke tulisan artikelku untuk terbitan minggu ini di koran. Tak lama aku pun teggelam, ke dalam pikiran-pikiranku yang tertuang ke sebuah tulisan.

"HEY!"

"ASSALAMUALAIKUM..." Konsentrasiku buyar seketika, wajahku terangkat, langsung menatap seorang perempuan bertubuh semampai yang kini sudah berdiri di hadapanku.

Waalaikum salam.” Eliza tertawa, terlihat gigi gingsulnya, "Kaget?" Lantas ia segera duduk di hadapanku. Seraya menaruh kamera analog di atas meja, "Serius amat." Eliza masih tertawa melihatku.

Aku menutup sedikit layar notebook-ku, beralih menatapnya, “Kamu dari mana? Jujur sedari tadi aku menunggu kehadirannya.”

“Kangen ya, kok nyariin gitu?” Eliza cekikikan, mungkin melihat ekspresiku yang entah seperti apa. "Hunting sama anak-anak komunitas." Dia pun akhirnya menjawab pertanyaanku.

Lihat selengkapnya