Tiga puluh menit selepas jam dua belas siang, di tengah-tengah kerumunan masa terdengar suara letusan. Seluruh mata yang ada di sana menatap kobaran api di pos polisi. Dari ujung jalan aku melihat puluhan orang berpakaian hitam berdatangan, menyusup di tengah kerumunan aksi mahasiswa dan buruh. Aksi yang mulanya berjalan damai menjadi kacau. Beberapa orang berpakaian hitam memukul, merusak pos polisi dengan balok kayu, dan melemparkan bom molotov.
Petugas kepolisian yang berjaga-jaga langsung melakukan pengamanan, para wartawan berkumpul di satu titik aman di sana, jelas mereka tidak ingin salah satu dari mereka menjadi korban aksi itu. beberapa orang berpakaian hitam memporak-porandakan, membakar ban di tengah jalan, merusak segalanya yang ada di sana, hingga mereka memblokir jalan sisi utara Letnan Adi Sucipto.
Selang satu jam kerusuhan semakin menjadi. Suara ledakan petasan, batu-batu melayang, dan pecahan kaca berserakan menjadi salah satu pemandangan baru di jalan Letnan Adi Sucipto. Para Mahasiswa dan Buruh telah membubarkan diri, tersisa hanya kelompok tak dikenal yang berpakaian hitam kini bentrok dengan petugas.
Itu memang sudah menjadi hal biasa bagiku, sebanyak lima kali aku pernah meliput aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan seperti itu. Yang paling parah aku alami meliput aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD, beberapa kali petasan dan gas air mata melayang.
Di situasi yang kacau seperti itu, para awak media kebingungan mencari tempat perlindungan. Aku tahu mereka bingung mau lari kemana? Aku melihat Hesti rekan wartawanku dari media televisi lokal menangis, ia sepertinya tak kuasa melihat kerusuhan itu. Setiap ia mendengar suara ledakan, ia semakin ketakutan. Tubuhnya bergetar, wajahnya pucat. "Tenang... tenang, ya. Kita berada di tempat yang aman." Nina rekan kerjanya Hesti mencoba menenangkannya.
Aroma asap letusan petasan dan molotov tercium menyengat, seakan udara di sana telah terkontaminasi. Salah satu petugas kepolisian menghampiri para awak media yang berlindung di belakang mereka, membagikan pasti gigi untuk dioleskan di bawah mata. Hal itu untuk berjaga-jaga, jika petugas memutuskan gas air mata ditembakan.
"Mau kemana, Dran?"
"Ke situ." Aku menunjuk ke arah kerusuhan di sana, niat hatiku ingin mengambil gambar, karena itu sesuatu momen yang tak boleh dilewatkan.