Saat itu mataku setengah sadar, aku berada di sebuah ruangan yang bersih. Mungkin ini rumah sakit, pikirku tak perlu bertanya-tanya lagi kepada orang lain. Percuma juga, kondisiku melemah, aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk wajahku saat itu.
Aku melihat seorang dokter dengan pakaiannya yang khas, berjalan keluar dari ruangan. Dari dalam ruangan itu, aku mendengar dokter sedang berbicara kepada seseorang yang ada di luar. Aku mengenali suara itu.
Tak lama, pintu ruangan terbuka. Pandanganku segera mengarah ke pintu tersebut.
"Kalau masih terasa sakit, jangan dipaksa duduk!" Aku menurut, kembali membaringkan tubuhku.
Aku melihat Mas Chilmi redakturku dan temanku Dwi duduk di samping dipanku. Mereka hanya diam, tatapannya memperhatikan kondisiku saat itu. Mataku masih terasa panas, mungkin itu karena gas air mata yang ditembakkan ke arahku. Seluruh badanku masih terasa sakit, dadaku masih terasa sesak, dan salah satu bagian yang paling sakit ada di wajah dan lengan.
"Beritamu sudah tersebar, Dran," kata Dwi, sementara aku hanya diam mendengarkan. "Karena tadi banyak sekali wartawan. Tapi tenang, pihak kepolisian sudah meminta maaf atas kejadian ini, dan pastinya sudah bertanggung jawab."
"Sungguh aku sangat menyesali kejadian ini, Dran." Giliran Mas Chilmi sang redaktur kota yang berbicara, “Kejadian ini kembali terulang, setelah setahun yang lalu kamu terkena batu tepat di jidat. Sekarang harus terulang lagi, dengan kasus yang sama, tapi dengan luka yang berbeda."
Di situ aku teringat kejadian yang sama menimpaku, kerusuhan di depan gedung DPRD setahun yang lalu. Masa unjuk rasa melakukan aksi pelemparan batu terhadap para petugas. Waktu itu aku terjebak di situasi kerusuhan, kebingungan mencari tempat perlindungan, hingga batu melayang mengenai jidatku tak kuhindarkan.
"Aku sudah berkali-kali mengingatkanmu, untuk terus berhati-hati dalam meliput sebuah peristiwa. Tapi, karena idealismu itu, Dran. Kamu susah dibilangin."
Suasana ruang perawatan itu hening, Dwi hanya diam, ia tidak bisa berkata-kata. Sedangkan aku juga diam, tak bisa melawan tegurannya. Mas Chilmi memang sangat baik menurutku, dia selalu mementingkan keselamatan wartawannya. Tapi, karena keegoisanku mungkin, yang membuat kejadian seperti itu kembali terulang. Sungguh, aku menyesali hal itu, karena aku merasa merepotkannya.
Gara-gara kejadian itu, liputan yang sudah direncanakan sedari pagi berantakan sudah. Temanku Dwi jadi kerepotan, ia dituntut untuk menghandel pekerjaanku dan pekerjaannya sendiri.
"Tidak ada berita seharga nyawa. Kalau kamu tidak berhati-hati, sama saja kamu bunuh diri, Dran." Itu perkataan terakhir Mas Chilmi sebelum ia pergi dari ruang perawatanku, dan menyuruhku istirahat sampai kondisiku benar-benar pulih.
"Lekas sembuh, Dran. Data-data liputan hari ini, kirimkan ke aku. Nanti aku yang kerjakan."
Aku mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan Dwi, lantas ia pun pergi bersama dengan Mas Chilmi sang redaktur.
***
Selepas magrib, aku kedatangan tamu yang membesukku di rumah sakit. Teman-teman dari kosan, juga Pak Eko sang pemilik kos juga turut datang. Sebelumnya, aku telah mengabari Shahrul bahwa aku sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara. Tak lama aku mengirimkan pesan untuknya, akhirnya mereka datang juga.