Mencari Pesan

Setiawan Saputra
Chapter #13

TIGA BELAS

 “Kamu harus cobain ini deh.” Eliza meletakkan cangkir di atas meja.

Aku menatap cangkir itu sebentar, “Teh?”

Eliza mengangguk, tersenyum, “Tapi bukan teh biasa.”

“Teh apaan?”

“Teh daun kopi.”

Teh daun kopi? Ada ya? Dengan penuh rasa penasaran, aku memperhatikan cangkir itu dengan teliti.

“Belum tau?” tanya Eliza, ia seperti menahan tawa mungkin melihat ekspresiku yang menurutnya lucu.

Aku menggeleng, masih kuperhatikan lagi cangkir itu dengan sungguh teliti, karena rasa penasaranku yang amat besar. Beberapa kali aku mencium aromanya, mengangkat sesendok teh dan memperhatikan warnanya. Tak beda dengan teh biasa menurutku, tapi aromanya lebih harum.

Eliza tak kuasa menahan tawanya, ia pun harus melepaskan tawanya itu seketika, “Kamu coba deh, daripada penasaran. Soalnya wajah penasaranmu itu gemesin tau.” Eliza semakin tertawa dibuatku.

 Oke, aku mengerti Eliza tak kuasa melihat ekspresiku di kala penasaran seperti itu. Jadi, mau tak mau aku harus mencoba teh daun kopi yang dihidangkan Eliza. Sejenak aku memejamkan mata setelah meminumnya, menikmati harum aromanya yang dikeluarkan dari teh daun kopi.

“Lebih lega ya?” Eliza memperhatikanku.

“Lebih tenang,” jawabku, mengangkat cangkir lagi, meniup teh itu untuk mengurangi rasa panas, sesekali mencium aromanya, dan kemudian kuseruput lagi. Sungguh nikmatnya teh yang disuguhkan Eliza itu.

“Nagih ya?”

Aku mengangguk sebagai jawabanku. Eliza pun tersenyum manis kulihat, sangat manis. Aku tenang berada di hadapannya, sembari memandangi senyuman manisnya dan parasnya yang menggemaskan.

Eliza menjelaskan teh daun kopi itu menjadi salah satu menu terbaru di Kafe Rembulan miliknya. Aku rasa Eliza lebih menyukai minuman-minuman herbal dan tradisonal sebagai menu di kafenya. Selain itu, ia juga suka menambahkan makanan dan minuman Nusantara. Salah satunya kopi Aceh.

“Karena ini usaha aku teruskan dari mendiang ibuku, yang awalnya hanya sebuah warung tradisional di kampung, lalu aku rubah menjadi kafe.” Eliza menjelaskan, setelah aku melempar satu pertanyaan untuknya.

“Dan pasti kamu nggak percaya, di kafe ini juga menjual nasi jagung?”

Aku sempet tertawa karena itu, tidak percaya sebuah kafe menyajikan nasi jagung. Sungguh unik kafe itu, “Hanya kafe ini satu-satunya,” kataku begitu.

“Kamu masih nggak percaya, Dran?” Eliza bertanya lagi. “Kalau nggak percaya, aku ambilkan menunya.” Segera Eliza beranjak dari kursi, pergi ke bar untuk mengambil menu, dan tak lama kembali lagi.

Benar juga ternyata, setelah aku mengecek menunya ada nasi jagung di salah satu halaman menu tradisonal, tak hanya itu ada juga tiwul dan oseng-oseng mercon kaleng. Makanan yang dibuat dari tetelan daging sapi yang dimasak dengan banyak cabai.

Aku menganggumi apa yang dilakukan Eliza, meneruskan usaha orang tuanya dengan inovasi baru. Yang awalnya hanya sebuah warung biasa, kini sudah menjadi sebuah kafe dengan fasilitas yang banyak digemari anak-anak muda.

Masih lima belas menit lagi aku di situ, bercakap dengan Eliza. Percakapanku kini dengannya beralih membahas tentang konsep kafe. Karena aku suka membaca buku, aku mengusulkan kafe itu disediakan satu rak buku untuk para pengujung membaca. “Selain itu juga untuk meningkatkan minat membaca anak-anak muda, jadi konsepnya seperti perpustakaan di dalam kafe gitu.” kataku demikian.

“Itu ide bagus, Dran. Aku suka.” Eliza terlihat sangat antusias dengan ide itu, “Dan aku juga punya ide, meluangkan salah satu ruangan ini untuk didekorasi sebagus mungkin, supaya para pengujung bisa berfoto-foto di sini.”           

Lihat selengkapnya