Mencari Pesan

Setiawan Saputra
Chapter #15

LIMA BELAS

Aku masih duduk sendirian di ruang terbuka warung redaksi, menikmati suasana. Sebatang rokok baru saja aku bakar, waktu telah menunjukkan hampir jam setengah tiga sore. Aku masih belum ada niatan buat turun ke ruang kerjaku. Pikirku, tidak ada orang yang mencariku, sekalipun Mas Chilmi. Jadi ya sudah, aku habiskan saja waktuku di situ, lagian tugas-tugasku sudah selesai semua.

Entahlah, aku sendiri juga tidak paham ada apa dengan diri ini. Aku merasa kelelahan, bukan karena kerja, tapi pikiranku. Entah apa saja yang aku pikirkan, tentang keluargaku yang jauh di sana, tentang rencana-rencanaku ke depannya, juga rasa dilemaku. Aku tidak tahu keputusanku itu salah atau benar, karena aku hanya ingin bebas menentukan pilihanku.

“Mikirin apa?”

Terkejutlah aku mendengar suara itu, tiba-tiba saja Mas Chilmi redakturku datang menghampiriku, “Kenapa sih, aku sering lihat kamu duduk sendirian di sini?” Mas Chilmi bertanya sembari menaruh segelas teh hangat di atas meja, dan duduk di hadapanku.

“Meditasi, Mas,” jawabku.

Mas Chilmi seketika tertawa mendengar jawabanku yang mungkin menerutnya ngelantur. Sementara aku hanya diam menatapnya, menghisap dan mengembuskan asap rokokmu.

“Beritamu udah selesai semua? Kok masih duduk di sini?”

“Udah aku kirim ke email semua, Mas.”

“Ohh, oke.” Mas Chilmi mengangguk mendengar jawabanku.

Sementara suasana hening tanpa ada percakapan, aku memperhatikan Mas Chilmi sejenak, sibuk menyeruput teh hangatnya. Lantas kualihkan pandanganku ke arah lain, lebih tepatnya menatap awan, sambil menikmati sebatang rokok filterku yang sudah tinggal setengah.

“Kamu lagi mikirin apa sih, Dran, ha?” Tanpa aku sadari apa yang aku lakukan itu, sedari tadi diperhatikan oleh Mas Chilmi. Aku hanya tertawa kecil mendengar pertanyaannya, karena aku sendiri tidak bisa menjawabnya.

“Coba aku pengen dengar. Apa yang kamu inginkan?” Tiba-tiba saja Mas Chlimi bertanya seperti itu, sementara aku masih diam tidak menjawabnya. Sejenak aku hisap lagi batang rokokku, memilih jawaban yang pas untuk pertanyaannya itu.

“Aku ingin kebebasan,” jawabanku pun terlontarkan.

“Kebebasan?” Sekali lagi Mas Chilmi dibuat tertawa mungkin karena jawabanku barusan, “Negara kita udah bebas, udah tidak ada penjajah di sini. Pengen kebebasan apalagi, Dran?”

“Tapi, masih ada orang yang tidak suka dengan jalan yang aku pilih. Pemahaman-pemahaman orang yang berbeda seperti itu, yang menjadi berdebatan dari awal aku jadi wartawan sampai sekarang.” Begitulah jawabku.

“Ya, kalau itu sih jangan dengarkan perkataan mereka, Dran. Fokus pada pilihanmu sendiri,” katanya, tapi hanya aku dengar perkataan macam itu. Basi bagiku.

“Jangan didengarkan itu tak semudah ditulis tangan, Mas. Tapi perkataan mereka yang menyakitkan, sulit dilupakan. Sepertinya, mereka telah menganggapku bodoh, keluar dari pekerjaan dengan gaji yang cukup, dan aku memilih bekerja seperti ini.” Aku tertawa setelahnya, “Katanya negara ini udah bebas dari penjajah. Tapi nyatanya, aku merasa seperti dijajah di negera yang udah bebas ini.”

Lihat selengkapnya