Di balik kegiatan kerja bakti dengan warga sekitar kos-kosanku, aku mendengar kabar baik dari teman kosku dulu. Shahrul yang menyampaikan kabar itu, ketika kami sedang sibuk membersihkan selokan.
“Bulan depan dia mau nikah,” kata Shahrul.
“Oh ya?” Dia yang dimaksud adalah Bayu, teman dekatku waktu ia masih menempati kamarnya Pieter. Tentu aku senang mendengar kabar itu. “Sama Andini ya?” tanyaku kemudian, aku masih ingat nama pacarnya. Dan langsung menebak nama itu sebagai mempelainya nanti.
“Iya, pacarnya dulu.”
Tebakanku benar juga, tentu aku tak heran hubungan mereka sungguh awet. Aku berani bersaksi atas kekompakkannya, dan menurutku merekalah sepasang kekasih yang sangat cocok, aku sendiri juga dibuat iri dengan Bayu, kok bisa mendapat cewek se-asyik itu.
“Ya begitulah, Rul. Kalau cewek bisa diajak kerja sama,” kataku kemudian, “Aku pengen punya pasangan seperti dia, sulit cari cewek kayak gitu. Ada aja alasannya, belum siap nikahlah, mau fokus kuliahlah. Tapi ujung-ujungnya, tunangan sama mantannya. Sialan, kan?”
Shahrul tertawa mendengar apa yang aku katakan barusan, “Masih belum move on sama Airin?”
“Bodoh, ah.” Tuh kan, teringat lagi aku tentang dia. Sudahlah lebih baik aku melanjutkan kegiatanku, masih banyak sampah-sampah yang belum dibersihkan.
“Makannya cari cewek itu diseleksi dulu, Dran.”
“Seleksi gimana? Masa iya mau pacaran harus suruh ngumpulin biodata dulu?”
Shahrul tertawa, “Dikira mau ngelamar kerja, sekalian sertakan fotokopi ktp dan pas foto 3x4.”
Tertawalah aku mendengarnya, sumpah aku tidak memahami apa yang ada di dalam pikirannya. Lantas aku segera fokus membersihkan sampah-sampah di dalam selokan, “Eh, by the way, kamu tiba-tiba bicarakan soal itu, terus kamu sendiri kapan?” Tiba-tiba pertanyaan itu melintas dalam benakku.
“Hah? Kapan apanya?” Shahrul berhenti sejenak, menatapku.
“Kapan nyusul kayak si Bayu itu.”
“S2 dululah.” Shahrul kembali melanjutkan kegiatannya.
Tak sengaja pandanganku mengarah ke Rara, anak pemilik kos yang sedang menyiapkan minuman dan gorengan di meja depan rumahnya, “Tuh Rara, Rul.” Mulai aku menggodanya lagi, “Sikat, Rul!”