Hari itu aku ingin sekali bertemu dengan Eliza untuk mengutarakan keinginanku, bahwa aku ingin sekali lebih dekat dengannya. Sungguh hati ini tidak bisa lagi diingkari, seakan ingin sekali untuk masuk ke dalam hatinya dan bersemayam di dalam sana.
Cuaca sore itu sungguh cerah, seakan memberi dukungan atas tekadku. Tampak sinar jingga cerah bersinar membuat langit Jogjakarta memerah, tepat waktu menunjukkan pukul 17.00 wib, segeralah aku meninggalkan kantor, dan pergi ke Kafe Rembulan.
“Selamat sore, pelangganku yang setia. Semoga secangkir matcha ini dapat menenangkan hati dan pikiranmu.” Dengan senyuman manis bak kembang gula, Eliza meletakkan secangkir matcha di atas meja. Mungkin ia sudah tahu minuman apa yang aku pesan, dan kala itu aku tak perlu lagi pergi ke bar untuk memesan.
“Terima kasih, Za.”
Eliza duduk di hadapanku kemudian, “Capek ya?” Eliza menatapku, mungkin ia tahu hari itu aku terlihat lesu. Memang, sejujurnya hari itu aku teramat sungguh lelah, sedari subuh aku sudah terbangun menyiapkan diri untuk mengikuti liputan pagi.
Ada peristiwa pembunuhan, dan tadi paginya tersangka di bawa ke pengadilan. Acara sidang itu sebenarnya di mulai jam delapan pagi, karena tersangka itu adalah orang politisi, jadi pasti acara sidangnya didatangi oleh banyak wartawan. Maka dari itu Mas Chilmi memintaku datang lebih pagi, supaya bisa dapat tempat untuk mengikuti sidangnya.
Atas pertanyaan yang dileparkan Eliza barusan, aku tersenyum mencoba membuat diri ini baik-baik saja di hadapannya, “Capeklah, Za. Habis kerja kok.” Aku tertawa.
Eliza pun juga tertawa, “Namanya juga kerja, Dran. Kalau nggak mau capek ya nggak usah kerja.”
Aku tertawa lagi, setelah itu rasa lelah dan penatku sedikit berkurang, ketika berada di dekatnya dan bercanda dengannya. Lantas, aku dan Eliza pun terhanyut dalam sebuah percakapan, banyak sekali hal yang dibicarakan.
Suasana di kafe itu memang tak terlalu ramai, jadi aku merasa nyaman di situ. Eliza tak berkali-kali meninggalkanku. Ia terus berada di hadapanku, asyik berbincang membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sungguh aku menyukai momen itu, sejenak aku berpikir mungkin itu waktu yang tepat untuk segera mendapatkan Eliza.
Saat suasana hening, kami terdiam kehabisan bahan pembicaraan. Suatu kesempatan untukku memandang parasnya yang menggemaskan itu. Aku merasa ada yang berbeda kala memandangnya lebih dalam lagi. Sejenak aku membayangkan, bagaimana jika Eliza menjadi…
“Dran..” panggilnya, membuyarkan lamunanku. “Kenapa, Dran?” tanya dia lagi, sementara aku masih sibuk menyadarkan diriku sendiri. Menormalkan pikiranku yang sedari tadi melayang-layang tak tau arah.
Hari itu aku ingin mendapat sesuatu dari Eliza, supaya aku lebih dekat dengannya lagi. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mintanya? Dan aku harus mulai dari mana? Oke yang tenang, Dran. Aku berpikir sejenak, untuk mencari kalimat yang pas sebagai pembuka.
“Heey.” Dia memanggilku lagi.