Tepatnya hari Sabtu pagi, aku sudah tiba di Kabupaten Gunungkidul. Sejak jam lima pagi, Eliza menjemputku di kosan. Memang, dua hari sebelumnya aku menyarankan dia untuk menjemputku di pagi hari, supaya aku keluar tanpa dicurigai oleh teman-teman kosku. Memang, aku masih belum menceritakan tentangnya pada mereka, aku sendiri juga tidak mau bercerita, pasti nanti bakal tahu sendiri.
Sesuai rencanaku, Eliza beneran menjemputku malah lima belas menit sebelum jam lima. Suasana kosan masih sepi, ketiga penghuni kos itu masih terlelap dalam mimpi indahnya masing-masing, pintu rumah Pak Eko sang pemilik kos juga masih tutup, di situasi seperti itulah rencanaku berjalan lancar. Aku bisa bebas keluar bersama Eliza, tanpa pertanyaan ini dan itu dari mereka.
Sebelumnya, aku sudah membicarakan itu dengan redakturku Mas Chilmi, bahwa hari Sabtu aku ijin off tidak liputan, karena aku mau berlibur, “Sekali-kali, Mas. Aku ingin liburan, udah lama juga soalnya,” kataku begitu pada Mas Chilmi.
Redakturku tidak curiga untungnya, tidak juga banyak tanya. Malah Mas Chilmi berpesan kepadaku, untuk membawa sesuatu dari tempat liburanku. Sesuatu itu bukan sebuah oleh-oleh pada umumnya.
“Boleh, Dran. Kamu pergi liburan, tapi aku pengen kamu pulang bawa satu liputan aja dari tempat liburanmu. Anggap aja itu adalah oleh-oleh.” Begitu katanya. Ya, mungkin begitulah pekerjaanku, setiap aku ada di mana pun selalu tak lupa dengan pekerjaan, buktinya aku mau liburan masih disuruh kerja. Tapi nggak papalah, aku senang melakukannya.
Tiba di suatu tempat yang dimaksud Eliza, benar apa katanya. Tempat yang sungguh eksotis dan indah, terdapat aliran sungai yang jernih di antara kedua tebing di sampingnya. Ya, aku dan Eliza saat itu berada di Air Terjun Srigethuk.
“Ini tempat favoritku, ketika lagi kusut dan butuh ketenangan,” kata Eliza. Setelah memarkirkan mobilnya, aku pun segera mengikutinya berjalan masuk ke area wisata air terjun.
Suasana yang menenangkan menyambut kedatangan kami berdua, pepohonan yang hijau nan rindang, ditambah suara kicauan burung membuat suasana di situ menjadi lebih syahdu. Ketika kami hendak membeli tiket perahu rakit menuju air terjunnya, pandanganku langsung tertuju ke arah sungai yang mengalir di belahan tebing.
Sebenarnya ada tiga opsi untuk menuju ke Air Terjun Srigethuk; pertama jalan kaki melalui jalan setapak dan anak-anak tangga kecil menyusuri pinggiran tebing. Opsi pertama itu tidak dipungut biaya apa pun. Kedua, menggunakan perahu rakit, menyusuri sungai hingga sampai ke air terjunnya, harga tiketnya sepuluh ribu per orang pulang pergi. Sedangkan ketiga, opsi itu lebih ekstrim. Menggunakan flying fox dengan harga tiket tiga puluh lima ribu, dan kembalinya dijemput dengan perahu tanpa biaya tambahan.
Eliza saat itu memilih opsi yang kedua, menyusuri aliran sungai menggunakan perahu rakit hingga sampai di air terjunnya. Kebetulan saja, kami datangnya lebih pagi. Jadi masih belum banyak wisatawan yang datang di situ.
Hanya ada lima orang yang ada di perahu rakit itu, termasuk aku, Eliza, petugas wisata yang menahkodai perahu rakit, dan sepasang anak muda yang juga berwisata di situ. Aku duduk di bangku-bangku panjang di atas rakit, tak henti-hentinya aku memandang keindahan alamnya. Sungguh aku mengakui mataku telah dimanjakan oleh keindahannya. Perbukitan hijau, air jernih mengalir, disertai suara kicauan burung, dan gemericik air, juga derai-derai dedaunan. Sungguh menenangkan rasanya, saat itu aku bisa melupakan sejenak masalah di kota.
Mataku tertarik melirik Eliza yang juga duduk di sampingku, di tangan kirinya membawa kamera digital miliknya. Tampaknya ia sedang mencari sudut-sudut yang pas untuk diabadikan dengan kameranya.
“Cantik juga ya,” kataku.
Eliza menoleh ke arahku, aku dapat melihatnya dari ujung mataku, “Siapa yang cantik?”
“Sungainya,” jawabku, tanpa menoleh ke arahnya.
Dari ujung mataku aku melihat ia tertawa, lantas aku menoleh ke arahnya dan bertanya, “Kenapa ketawa?”
“Nggak papa.” Eliza menggelengkan kepala, aku lihat tampaknya ia masih menahan tawanya. Aku sendiri juga nggak paham, kenapa dia bisa tertawa. Memang sungai itu cantik, apa salahnya?
Suasana hening sejenak antara kami berdua, sejenak aku menatap sepasang anak muda yang duduk di hadapanku dan Eliza. Aku memperhantikannya, tampaknya sangat romantis sekali. Berpegangan tangan, berselfi ria, dan sebagainya.
Sejenak aku melihat Eliza yang masih sibuk mengabadikan momen dengan kameranya, sementara aku membuka note di ponselku, menulis sesuatu yang aku nikmati hari itu. Tentang keindahan dan ketenangan. Itulah caraku mengabadikan momen, berbeda dengan Eliza yang lebih suka mengabadikan momennya dengan sebuah jepretan foto.
Tak lama akhirnya, setelah menyusuri Sungai Oyo sejauh kurang lebih 700 meter, perahu rakit yang kami tumpangi telah sampai di Air Terjun Srigethuk. Sesampainya di dermaga tempat pemberhentian perahu rakit yang kami tumpangi, mataku langsung dimanjakan oleh keindahan air terjun yang memanjakan mata.