Masih di Gunungkidul, Aku dan Eliza sudah berada di Rumah Makan Sawahan, yang berada di sebuah perdesaan Gunungkidul. Rumah makan tradisonal seperti itu juga menjadi favorit Eliza lo, ia juga berkata sering mengujungi rumah makan itu setiap ia berlibur di Gunungkidul bersama keluarganya.
Saat itu juga seporsi sego abang jirak yang disajikan dengan sayur lombok ijo, daging sapi bacem, dan dua gelas es teh tarik gula jawa sudah terhidang di hadapan kami berdua. Sungguh tak aku sangka, ternyata seorang Eliza juga memiliki selera kuliner ala pedesaan seperti itu.
“Tradisonal banget ya, kulinernya.” Sindirku, memperhatikan seporsi makanan yang ada di hadapanku kala itu.
Eliza hanya tertawa mendengar sindiranku, “Tapi ini bisa dibilang makanan sehat to, karena terbuat dari bahan-bahan alami yang mempunyai khasiat tersendiri, serta jauh dari bahan pengawet dan pemanis buatan.”
Aku hanya mengangguk, mengiyakan saja apa yang dikatakannya. Tak perlu banyak cakap lagi, kami pun menyantap hidangan itu. Awalnya aku ragu dengan makanan itu, takutnya tidak sesuai seleraku, tapi setelah melihat Eliza yang lahap makannya, aku pun mencobanya dan ternyata enak juga.
“Gimana, enak, kan?”
Aku mengangguk mengakui kelezatannya, hingga tak aku sadari aku telah melahap makanan itu setengah porsi.
Eliza hanya tertawa melihatku, “Aku sudah menduga, pasti kamu suka,” katanya begitu.
“Kamu tahu dari mana?” tanyaku setelah itu.
“Dari muka-mukamu aku bisa menebak, kamu pasti suka dengan makanan ini.”
“Kok bisa begitu?” tanyaku lagi.
“Karena kamu anak kosan, yang biasanya makan mie instan, kan?” begitulah jawabnya.
“Hey, nggak semua anak kosan makan mie instan ya!” Sergahku, “Di awal bulan makananku berkelas.”
“Tapi di akhir bulan?”
“Mie instan sih, tapi itu hanya untuk bertahan hidup.”
Dia pun tertawa ngakak setelahnya.
Setelah kenyang menyantap makanan itu, ditambah kesegaran minuman es teh tarik gula jawa. Suatu kebiasaan dariku, setelah makan kenyang aku selalu membutuhkan rokok. Segera aku keluarkan sebungkus rokok beserta korek dari saku jaketku, tanpa aku ketahui Eliza suka anak perokok atau tidak.
“Kamu ngerokok ya, Dran?” Eliza melihat bungkus rokok yang baru saja aku keluarkan.
Sementara aku masih diam, tidak langsung menjawabnya. Di posisi itu aku bingung harus berkata apa, “Boleh nggak, Za?” Baru aku bertanya soal ia suka dengan anak perokok atau tidak, dan aku masih belum mengeluarkan sebatang rokok pun.