“Memang, medan yang ditempuh ke pantai itu sangat sulit, Mas.”
Saat itu aku dan Eliza sudah berada di kawasan Pantai Watu Limbung, aku dipertemukan Eliza dengan seseorang pemadu wisata lokal yang biasa dipanggil Pak Sumar.
“Kita harus menyusuri ke arah timur pantai ini, melewati batu-batuan yang licin, dan kita juga harus melihat pasang surutnya air. Kalau Mas mau, mari saya antarkan ke sana.” Begitu katanya, saat kami berbincang di salah satu warung yang berada di atas Pantai Watu Lumbung.
Aku tertarik dengan ajakan pria pemandu wisata itu, sejenak aku menatap Eliza memberi isyarat untuk menerimanya. Eliza hanya mengangguk, pertanda ia mau pergi ke sana.
“Tapi, Mas. Sebelum kita berangkat ke sana, sebaiknya persiapkan dulu bekal makanan ringan, soalnya di sana belum tersedia sarana yang memadai. Mas bisa beli di warung ini, kebetulan yang jual istri saya.”
Oke, mungkin bapak ini juga mau mempromosikan dagangan istrinya, “Udah turutin aja, Dran. Di sana memang tidak ada yang jualan, pantainya masih sepi,” kata Eliza, setelah aku menatapnya.
Setelah belanja untuk bekal ke sana, aku, Eliza, dan Pak Sumar segera bergegas ke pantai yang dimaksud belum terjamah manusia. Aku sendiri juga masih penasaran dengan pantai itu, kata Pak Sumar perjalanan menuju ke sana cukup menantang.
Kami pun menuruni jalan kecil menuju Pantai Watu Lumbung, suasana khas pantai pun terasa. Semilir angin laut yang berhembusan, di sertai suara ombak khas pantai selatan. Di sebelah barat kami ada Gunung Batur, yang kata masyarakat lokal di sana banyak sekali spesies monyet ekor panjang dan rusa. Namun, kami tidak akan ke sana, kami mengarah ke timur.
Melewati rute yang sangat sulit, dengan batu-batuan licin, dan terjangan ombak yang cukup berbahaya. Aku, Eliza, dan Pak Sumar akhirnya sampai di sebuah pantai yang berada di balik Pantai Watu Lumbung.
Sulitnya medan pun terbayar dengan keindahan pasir putih, dan deburan ombak khas pantai selatan. Pantai yang memiliki pasir putih dan batuan kapur, pantai itu berbeda dengan Watu Lumbung yang sebagaian besar berbatuan. Masyarakat sana, menamai pantai yang cantik itu dengan nama Pantai Pesewan.
Sesuai apa yang sudah dikatakan Eliza dan Pak Sumar, pantai itu masih asri, jarang orang mengunjungi pantai itu. Aku sendiri juga melihat hanya segelintir pengunjung yang ada di sana, masing-masing mereka membawa pemandu lokal. Memang untuk mengunjungi pantai itu harus menggunakan pemandu lokal, yang tahu rute jalan yang aman, dan tahu saat air laut pasang dan surut.
“Kita bisa camping di sini kalau kamu mau, Dran. Apalagi kan pantainya masih tak seramai yang lain, jadi masih asri dan menyenangkan untuk dinikmati sepanjang hari,” kata Eliza kala kami sedang berdiri di atas pasir putih.
“Tapi kita nggak bawa peralatan yang cukup, Za. Hanya jajanan ini.” Aku mengangkat sekantong kresek berisi makanan ringan yang barusan aku beli di warung istrinya Pak Sumar, “Lagian besok aku harus kerja.”
“Ya udah, kapan-kapan kita ke sini lagi.”
“Berdua?”
Eliza hanya diam, tidak langsung menjawabku, “Sama temen kosmu juga boleh.”
“Yaa, kamu cewek sendirian dong,” kataku.
“Iya, ya. Nggak enak juga.”
“Kan aku udah bilang, enak di vila.”
“Badraannn.. “