Setelah kejadian sebelumnya, aku tidak tahu bagaimana seterusnya, yang aku tahu tiba-tiba saja aku terbangun di sebuah ruangan bersih. Mungkin aku berada di rumah sakit, aku tidak tahu jelas siapa yang membawaku ke situ.
Di ujung sana aku melihat Shahrul teman kosku, yang tertidur di sebuah bangku. Aku tidak tahu kenapa dia ada situ, tak lama ia pun terbangun juga setelah beberapa kali aku memanggilnya. Ia pun segera mendekat kepadaku.
“Akhirnya kamu sadar juga, Dran,” katanya. Sementara aku masih diam, tubuhku terbaring lemah di ranjang ruang perawatan, dengan posisi kepalaku lebih tinggi bersandar bantal, “Udah dari kemarin lo, kamu nggak bangun,” lanjutnya.
“Siapa yang membawaku ke sini?” tanyaku kemudian.
“Teman-teman kantormu, Dran,” jawabnya atas pertanyaanku barusan.
Aku diam setelah itu, tidak ada yang aku tanyakan lagi, hanya pertanyaan-pertanyaan tentang diriku ini. Ada apa sebenarnya, aku salah apa, apa salah pekerjaanku, juga apa yang salah dengan pilihanku?
“Kamu udah tau, kan, Dran. Resiko pilihanmu itu?” Tiba-tiba Shahrul berbicara. Aku menoleh menatapnya, namun aku tak berkata apa-apa, hanya diam saja, “Katamu siap menghadapi resiko itu, seharusnya kamu lebih hati-hati, Dran. Kamu itu jauh sama keluarga sekarang.”
Aku paham dengan apa yang dia katakan, dan aku ingat atas perkataanku dulu setelah aku memutuskan hengkang dari pekerjaan lamaku, bahwa aku siap menghadapi segala resikonya. Dan selepas itu, aku sudah menghadapi beberapa resiko di balik pilihanku, tapi kali ini bagiku resiko yang paling besar. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
“Aku tahu ketangguhanmu, Dran. Tapi, kamu harus ingat. Tidak semua masalah bisa diselesaikan sendirian,” katanya.
Masih sama, aku hanya diam mendengarnya. Mencoba memahami apa yang dikatakan Shahrul, tentang tidak semua masalah bisa diselesaikan sendiri. Apakah aku terlalu keras kepala untuk menghadapi sebuah masalah, atau mungkin aku tidak menyadari akan tibanya sebuah masalah yang lebih besar? Aku kira hidupku ini penuh kesenangan, menjalani sebuah rutinitas dengan apa yang aku suka.
“Kok cuma kamu di sini, Rul. Yang lain mana?” tanyaku setelah sejenak suasana itu hening.
“Pieter sama Denis udah pulang, Dran. Tadi pagi mereka juga ada di sini, tapi kamunya masih belum sadar. Akhirnya siang tadi mereka pulang, tapi aku masih tetap di sini menjagamu, Dran.”
Itu mungkin salah satu keberuntunganku yang tersisa, seseorang yang masih peduli denganku. Aku beruntung mempunyai sahabat seperti Shahrul, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa untuk membalas kebaikannya?
“Kamu nggak ngajar, Rul?” tanyaku kemudian.
Dia tertawa tidak langsung menjawab pertanyaanku, “Ini udah sore, Dran. Lagian ini hari Minggu.”
“Oh iya ya, aku nggak tahu.” Aku juga tertawa setelah itu, menertawai pertanyaanku tadi.
“Oh iya, Dran. Tadi ada perempuan yang datang ke sini, udah dua kali dia datang.” Aku menatap Shahrul, menerka-nerka siapa perempuan yang dia maksud, “Kalau nggak salah sih, namanya Ell.. Ell siapa ya?”
“Eliza,” potongku.
“Nah iya, Eliza namanya. Dua kali dia datang ke sini, pertama pagi tadi, terus siangnya dia ke sini lagi bawakan makanan dan buah-buahan.” Aku menatap ke arah yang ditunjuk Shahrul, di atas nakas ada sebuah kotak mika berisi nasi dan sayur-sayuran, dan di sebelahnya ada buah-buahan semacam apel, pisang, dan jeruk.