Di kejadian yang menimpaku malam itu, siapa yang membawaku ke rumah sakit, kini aku sudah tahu semuanya, sekaligus siapa mereka yang sering menyerangku. Akan aku ceritakan semuanya di catatan ini.
Waktu itu kala lima orang tak aku kenal menghajarku habis-habisan, kebetulan ada Andika, Dwi, dan teman-temannya sedang nongkrong di sebuah angkringan yang ada di seberang jalan. Mereka melihat keributan di seberang jalan dari tempat mereka nongkrong, segera menghampirinya. Dan pada akhirnya mereka tahu bahwa aku terlibat dalam keributan itu. Namun sayangnya mereka terlambat, mereka datang ketika aku sudah hancur tak berdaya. Akhirnya mereka berhasil menghentikan aksi lima orang bertopeng yang tak dikenal itu, ketika aku sudah tak sadarkan diri.
“Kami segera membawamu ke rumah sakit, untuk urusan polisi pikir belakangan, yang penting kamu dapat diselamatkan. Kami sangat mengkhawatirkan kondisimu, Dran.” Begitu kata Andika saat ia menjengukku di rumah sakit bersama Dwi.
Andika pun menjelaskan tentang lima orang yang hendak menghabisiku, ia mengira lima orang itu adalah suruhan seseorang yang hendak memberiku pelajaran, “Mungkin ada yang tersinggung dari tulisanmu yang terbit di koran dan situs Jogjapolitan, Dran,” kata Andika.
Aku pun menceritakan semua tentang serangan mereka yang aku hadapi beberapa kali ini; Pertama di ATM malam hari, aku diserang dengan dua orang dan sempat kejar-kejaran dengan meraka, waktu itu aku masih mengira itu adalah komplotan klitih, kejahatan jalanan yang sering terjadi di Jogja. Kedua di halaman mini market juga di malam hari, aku menghadapi tiga orang bersenjata tongkat pukul. Dan yang ketiga di waktu yang sama dengan sebelumnya, ke terakhir kalinya aku menghadapi serangan lima orang sekaligus, ada yang tangan kosong ada juga yang menggunakan sejata semacam balok kayu, cambuk, dan tongkat pukul. Di situ pun akhirnya aku kalah.
“Nanti aku sampaikan semua tentang ini ke Mas Chilmi, supaya mereka juga ikut bertindak,” ucap Dwi setelah ia mendengarku bercerita.
Setelah tiga hari aku tidak aktif, akhirnya aku kembali bekerja. Sesampainya di kantor, Mas Chilmi langsung mengajakku ke ruangan Mas Wildan seorang Pemred Jogjapolitan. Di ruangan itu pun juga dihadirkan Andika, Dwi, dan salah satu temannya Andika yang menjadi saksi.
“Badran nggak pernah cerita soal itu, Mas.” Mas Chilmi menjawab atas pertanyaan Mas Wildan barusan, tentang apakah aku pernah cerita soal kejadian itu. Nggak, sama sekali aku nggak pernah cerita memang.
Di situ aku pun melihat Mas Wildan dan Mas Chilmi sedang sibuk mengamati foto-foto pelaku yang diambil dari salah satu kamera, entah siapa yang mengambil foto-foto itu. Aku sedikit melihatnya foto itu diambil di tempat kejadian kala aku dihajar mereka, juga ada beberapa foto lagi yang diambil di sebuah ruangan diskotik. Aku masih tidak tahu siapa yang mengambil foto itu, dan bagaimana caranya.
“Mungkin ada salah satu tulisan yang menyinggung orang-orang ini,” Kata Mas Wildan, mencoba menerka atas kejadian itu, “Kamu, kan juga sering buat tulisan untuk terbit mingguan di Jogjapolitan. Apa mungkin ada di salah satu tulisan yang membuat mereka terus menyerangmu?” Mas Wildan memberiku pertanyaan.
Sementara aku diam, tidak langsung menjawab pertanyaannya. Aku pun masih mengingat-ingat dari sekian banyak tulisanku yang sudah diterbitkan, lantas mana tulisan yang membuat mereka tersinggung dan menyerangku?