Mencari Pesan

Setiawan Saputra
Chapter #32

Tiga Puluh Dua

Hari itu pula aku liputan hal lain, salah satunya peristiwa pohon tumbang yang terjadi di berberapa titik daerah kota, setelah hujan deras melanda sore kemarin. Aku pun telah mensurvei beberapa titik lokasi yang terjadi peristiwa pohon tumbang. Aku sudah mendapat informasi dari beberapa warga yang berada di lokasi.

Dan saat itu aku sedang berada di kantor penanggulangan bencana, untuk menggali informasi yang lebih dalam soal peristiwa pohon tumbang. Di kantor itu aku bertemu dengan salah satu staf yang ada di sana, salah satunya Kabid Kedaruratan dan Logistik bernama Pak Hardi.

“Salah satunya pengedara sepeda motor tertimpa pohon ketepeng saat melintas. Saat ini korban telah dilarikan ke rumah sakit, hanya sekadar luka-luka,” Pak Hardi menjawab salah satu pertanyaanku.

“Dari beberapa peristiwa itu, ada berapa korban, Pak?” tanyaku kemudian.

“Ada empat orang, sudah dilarikan ke rumah sakit.”

“Tidak ada korban jiwa?” tanyaku.

“Tidak ada, Mas. Hanya luka-luka,” dan begitu jawabnya.

“Dari sekian peristiwa pohon tumbang, di setiap musim penghujan dan angin kencang. Apakah ada upaya untuk menekan kasus itu, Pak? Soalnya menurutku ini sudah sekian kalinya terjadi di setiap tahun, dan sudah menelan berapa korban atas kasus ini,” tanyaku kemudian.

Lantas dia menjawab, “Karena jumlah pohon semakin banyak, yang sengaja ditanam sebagai pohon peneduh. Jadi dibutuhkan bekerjasama dengan banyak pihak, seperti memeriksa, memonitoring, meremajakan pohon yang akan diterjang angin.”

“Bagaimana dengan pemangkasan pohon, Pak. Apakah ada SOP yang harus dilakukan?” tanyaku lagi.

“Dari pemerintah sudah memiliki SOP-nya, kita juga akan usulkan untuk memeriksa batang pohon, yaitu pemerintah dan masyarakat bersama-sama memeriksa pohon. Mulai dari usia pohon, keropos dimakan rayap, pohon sudah miring dan mulai ada retakan di sekeliling batangnya. Kalau sekiranya pohon sudah rawan roboh dan membahayakan masyarakat dan poperti yang ada di bawahnya, maka segera ditebang dan digantikan dengan yang baru.”

 Aku segara mencatat setiap pertanyaanku yang dijawab olehnya. Memang akhir-akhir itu sudah memasuki musim hujan, tiga hari terakhir Jogjakarta terus diguyur mulai hujan ringan, hujan deras berserta petir, dan angin kencang. Maka tak jarang koran Jogjapolitan memberitakan soal banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di daerah berbukitan, salah satunya di Kulonprogo.  

Masih lima belas menit aku berbincang dengan seorang Kabid Kedaruratan dan Logistik. Banyak hal yang kami bicarakan, tak hanya pohon tumbang saja, tapi banyak hal di luar dari topik liputan hari itu.

Salah satunya Pak Hardi menanyakan kepadaku, “Mas asli mana?”

“Asli Palopo, Pak,” jawabku.

“Ohh, pantes. Mukanya bukan orang jawa,” katanya begitu.

“Nggak cuma Bapak yang bilang begitu,” kataku, Pak Hardi pun hanya tertawa. 

Memang dari aku masih kecil tinggal di Ngawi sampai aku di Jogja, banyak orang yang baru kenal denganku selalu bilangnya seperti itu, “Wajahnya bukan orang jawa.” Entah aku sendiri juga bingung, bagaimana cara bedain wajah orang jawa sama yang bukan. 

Tak lama perbicanganku dengan Pak Hardi akhirnya selesai, namun aku masih tetap di kantor itu, duduk di sofa lobi, masih sibuk menggarap laporan. Sementara Pak Hardi sudah terlebih dahulu izin kembali melanjutkan pekerjaannya.

Di saat itu pula, tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat layar ponselku yang berkedip terdapat panggilan masuk dari Pipah. Segera aku angkat panggilannya.

“Mas Badran, ke kantor sekarang ya! Dicari Mas Chilmi,” kata Pipah, setelah aku menerima panggilannya dan bertanya, “Ada apa?”

“Ada apa, Pah?” tanyaku lagi

“Nggak tau, Mas. Pokoknya Mas Badran harus ke kantor!”

Lihat selengkapnya